"YAYASAN ALKAUTSAR"

LEMBAGA SOSIAL DAN DAKWAH ISLAM JAKARTA - INDONESIA

LIKU-LIKU PERKAWINAN

Author
MEMILIH PASANGAN HIDUP YANG SHALIH / SHALIHAH

Tergesa-gesa di dalam menentukan pasangan hidup tanpa meneliti terlebih dahulu, merapakan problema yang akan berakibat kepada bencana. Berapa banyak pemuda pemudi yang hanya memperhatikan masalah materi saja, terjebak ke dalam berbagai masalah dan pada akhirnya menjadikan penyesalan.

Di Barat, pada salah satu dari universitas yang cukup dikenal, ada yang khusus memberikan program tentang pengobatan masalah-masalah kejiwaan. Dengan itu, pemuda pemudi disana dapat mengambil hikmah, khususnya yang berkenaan dengan pasangan hidup, agar tidak gegabah dan tergesa-gesa di dalam menentukan pasangan hidupnya.

Seandainya universitas yang terdapat di negeri ini menetapkan metode tersebut untuk menyelamatkan para pemuda/i, niscaya akan sangat membantu mereka dalam meredam gejolak kerusakan moral. Islam sangat menekankan perhatian di dalam masalah pasangan ini. Karenanya, Islam sangat menganjurkan bagi umatnya agar meneliti calon pasangannya terlebih dahulu dari berbagai segi. Baik dari akhlaq, agama maupun perilaku kesehariannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat Al Qur'an dan hadits berikut ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu serta orang-orang yang layak (untuk menikah, kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki maupun hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (An Nuur 32)

Ayat ini mensyaratkan adanya persesuaian (keserasian) di dalam perkawinan, dimana kesemuanya itu dimaksudkan untuk tujuan bagi kemaslahatan. Yaitu agama, budi pekerti dan mampu untuk menikah. Karena Allah telah menentukan, bahwasanya akan ada orang yang berusaha untuk menanyakan tentang status sosial di dalam sebuah perkawinan. Perkataan siapakah yang lebih benar dibandingkan dengan firman Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian pada ayat tersebut adalah berpegang teguh kepada agama dan ajarannya. Adapun yang menjadi pokok adalah ilmu. Karena, ilmu merupakan khasanah yang tidak terbatas. Sementara yang dimaksud dengan ilmu disini adalah mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta mengamalkan apa yang terkandung di dalam kedua-nya di kehidupan sehari-hari.

Adapun keturunan serta harta yang serasi bukanlah menjadi ukuran dalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah riwayat, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menikah-kan sepupunya dengan Zaid bin Haritsah. Disamping itu, Abdurrahman juga pernah menikahkan saudara perempuannya dengan Bilal Al Habasyi dan Abu Hudzaifah juga menikahkan Salim dengan Hindun binti 'Utbah bin Rabi'ah, sedangkan Hindun pada saat itu merupakan pemimpin wanita dari kaum Anshar.

Ibnu Abi Malikah berkata, yang dinukil dari kitab "AdDiin Al Khaalish ", hal. 428, jilid 4 mengenai adzan di atas Ka'bah pada hari kemenangan kota Makkah. Sebagian dari penduduk Makkah pada saat itu berkomentar: "Apakah hari ini hari raya, hingga harus adzan diatas ka'bah?" Adapun sebagian yang lain berkomentar: "Sesungguhnya Allah murka dengan apa yang terjadi pada hari ini." Maka turunlah firman Allah yang berbunyi:

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa di antara kamu." (Al Hujurat 13)


Diriwayatkan oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Baihaqi di dalam kitab "AdDalaail".

Diriwayatkan dari Az Zuhri, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Kfl Sallam memerintahkan Bani Bayadah supaya menikahkan wanita dari golongan mereka dengan Abu Hindun. Mereka menjawab: "Apakah kami harus menikahkan anak-anak perempuan kami kepada pemimpin kami, wahai Rasulullah? Maka turunlah ayat tersebut." Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitabnya "Al Maraasil", Ibnu Marduwiyah dan Baihaqi di dalam kitab sunannya.

Imam Az Zuhri berpendapat, bahwa ayat tersebut turun bagi Abu Hindun saja. Sedangkan menumt riwayat yang datang dari Umar bin Khaththab, bahwasanya ayat ini turun di Makkah dan ditujukan khusus bagi orangorang Arab secara keseluruhan.

Sebagian orang ada yang menanyakan: "Bagaimana pernikahan bisa harmonis antara orang yang kaya dan wanita yang miskin atau sebaliknya. Sedangkan mereka sangat berbeda dalam kebiasaan yang akhirnya membedakan mereka dari segi tabi'at dan bisa menjadikan perceraian di antara rnereka." Penulis menjawab: "Sesungguhnya Islam menyatukan suami-lsteri itu baik dari segi tradisi maupun kesenangan, sehingga mereka men-jadi satu rangkaian yang tak terpisahkan, selama perintah dan larangan agama masih berkaitan dengan mereka berdua. Dengan adanya sebab inilah perbedaan serta perselisihan di antara mereka bisa diredam, sekalipun per-bedaan dimaksud adalah antara si kaya dan si miskin. Sehingga apa yang telah menjadi kemufakatan bersama, baik dalam pengertian maupun per-hatian menjadi sempurna.

Salah seorang cendekiawan dari Barat mengatakan: "Bahwasanya orang Islam yang berasal dari negara Hindustan hidup bertetangga dan berdampingan dengan orang Arab, tanpa harus memandang adanya perbedaan di antara keduanya. Semua itu berdasarkan pada apabila kedua dari penganut agama Islam itu selalu berpegang teguh dengan apa yang diyakininya. Yang karenanya akan menjadikan mereka berkerabat dalam satu perjanjian dan menyatukan mereka dalam satu rangkaian serta terhindar dari per-selisihan (perbedaan)." Contoh seperti ini saat sekarang telah banyak hilang dari benak kaum muslimin, disebabkan mereka telah menjauh dari tradisi Islam dan mereka mengikuti gaya hidup orang-orang yang tidak bermoral. Sehingga mereka cenderung untuk hidup di bawah belas kasihan orangorang yang lebih kaya dari mereka.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

"Apabila seseorang yang agama dan akhlaknya baik melamar kepadamu, maka hendaknya kamu nikahkan ia dengan anakmu. Jika kamu tidak melaksanakannya, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan bencana yang meluas." (HR. Tirmidzi dengan sanad sahih)

Perintah yang dimaksud oleh hadits di atas adalah, seandainya tidak ada perkawinan setelah terjadinya lamaran tersebut, maka akan merebaklah suatu bencana berupa kerusakan serta kebejatan akhlak. Sebab itulah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda yang artinya: "Jika kalian tidak segera melakukan pernikahan setelah adanya lamaran, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di atas bumi ini."

Sebab, kebanyakan manusia selama tidak melakukan pernikahan, maka tidak akan selamat dari godaan serta bahaya, kecuali dengan taqwa, menjaga pandangan serta keteguhan jiwa. Hanya dengan cara inilah segala macam godaan syaitan bisa ditepis. Sebab, tanpa adanya pernikahan, maka akan cenderung untuk menimbulkan adanya gejolak dalam hati, sedangkan hati merupakan rnodal utama untuk menunjukkan seseorang ke jalan yang diridhai oleh Allah. Karena, hati yang selalu sibuk atau yang senantiasa tertuju kepada Allah merupakan suatu langkah menuju kebaikan daripada berbagai bentuk kebaikan yang ada.

Jika seorang isteri buruk di dalam beragama, niscaya akan memporakporandakan harta benda sang suami dan berpotensi untuk menyebabkan kemuliaannya menjadi jatuh serta kehidupannya pun tidak akan harmonis. Apabila seorang suami mengetahui kebejatan sang isteri, kemudian ia tidak berusaha untuk memperbaikinya, maka hal seperti itu sama saja dengan sang suami merestuinya. Sebab, ini sangat bertentangan dengan firman Allah yang artinya: "Jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka." Oleh sebab itulah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang masalah agama ini kepada kita. Sebagaimana sabda beliau yang artinya: "Hendaklah kalian melihat agamanya, niscaya kalian akan bahagia."

Sesungguhnya agama merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam pandangan syari'at Islam. Sebab, isteri/suami yang baik agamanya dapat membantu di dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak-anak. Jika tidak, maka keduanya akan semakin jauh dari nilai-nilai agama, bahkan bisa mencelakakan kehidupan rumah tangga mereka.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

"Perempuan itu dinikahi karena empat perkara. Yaitu, karena hartanya, keturunannya, kecantikan, dan agamanya, namun nikahilah karena agamanya (jika tidak), niscaya kamu sengsara." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An Nasa'i)

Sesungguhnya agama merupakan hal yang sangat penting di dalam membina kehidupan berumah tangga. Sebab suami yang senantiasa taat kepada perintah agama dan menjauhi larangan-Nya akan menjadi suami yang baik bagi sang isteri dan dapat dipercaya. Begitu juga dengan seorang isteri yang shalihah, dimana ia akan selalu menjaga kehormatannya, sangat perhatian dengan rumah tangganya, pendidikan anak-anak serta menjaga hak-hak suaminya. Karena agama merupakan penengah di antara dua kekuatan, yaitu amarah dan syahwat. Dengan agama, segala kejahatan serta kerusakan moral akan cepat terobati. Agama adalah sesuatu, sementara berlebih-lebihan di dalam agama merupakan sesuatu yang lain. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Sebaik-baik umat adalah kelompok yang tengahtengah (yang sedang), sebagai rujukan dari kelompok yang berlebih-lebihan serta sebagai panutan bagi generasi berikutnya."

Seperti diketahui dalam suatu keluarga, jika sang suami lupa akan hak dari isteri maupun keluarga, yaitu dengan menghabiskan waktunya untuk beribadah, siang berpuasa dan malam melaksanakan shalat malam, maka hal itu bisa mengakibatkan keluhan bagi sang isteri. Begitu juga sebaliknya, sang suami akan mengeluhkan isterinya yang selalu menghabiskan waktunya dengan beribadah, sehingga mengabaikan kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya. Dua contoh tersebut akan menjadi bencana bagi keduanya. Sedangkan cara yang dapat dianggap efektif adalah mengambil jalan tengah, yaitu beribadah (dalam hal ini shalat dan puasa, Ed.) secukupnya saja.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Ibnu Amr bin ' Ash melakukan puasa selama satu tahun. Pada saat Nabi mengetahui akan hal itu, maka beliau pun memanggilnya seraya bersabda: "Jika kamu memang harus berpuasa, maka berpuasalah seperti apa yang dilakukan oleh saudaraku, yaitu Nabi Dawud'Alaihissalam, berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Itu merupakan kebaikan bagimu jika kamu mengetahui. Yaitu, bahwasanya badan kamu itu mempunyai hak atas diri dan keluargamu, yang juga mempunyai hak atas dirimu" (dikutip dari kitab "Al Uzmatu Az Zaujiyah wa 'Alaajiha ", karangan Dr. Muhammad Zaki Syafi'i, hal. 27-37)

Kecantikan bukannya tidak dibutuhkan, akan tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama di dalam mencari pasangan hidup, sebagaimana penjelasan pada hadits Nabi yang artinya: "Lihatlah kepadanya. Karena sesungguhnya dengan melihatnya itu akan bisa melanggengkan ikatan di antara kalian berdua." Hadits ini adalah merupakan penolakan terhadap perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, Rasulullah.

Dengan kata lain, berbahagialah dengan wanita (isteri) yang mempunyai agama baik dan janganlah memandang hanya pada harta bendanya saja, niscaya Allah Subhanahu wa Ta 'ala akan memberkahi dan memper-banyak harta kalian berdua. Melalui keterangan inilah kita dapat mema-hami betapa pentingnya memilih pasangan bagi calon suami-isteri dan hendaknya berhati-hati. Sebab, terburu-buru dalam mencari pasangan yang berdasarkan kepada keindahan semata akan berakibat buruk. Sedangkan cara memilih yang benar adalah, baik itu dengan melihat, direnungkan serta diteliti dari segi pendidikan dan akhlaknya.

Di dalam kitab yang berjudul "As Sa 'aadah Az Zaujiyah fil Islam " dikatakan, bahwa pada suatu hari mushannif mendengarkan siaran radio yang sedang membicarakan tentang seorang laki-laki yang ditanya: "Apakah kamu senang mempunyai isteri yang sangat cantik?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak." Kemudian ia ditanya kembali: "Apakah ada orang yang tidak menyukai suatu kecantikan yang memikat?" Laki-laki itu menjawab: "Sesungguhnya kecantikan yang memikat menyebabkan ketenangan yang menyejukkan hati dan sekaligus kesedihan yang tiada habisnya." Jawaban itu membuat diri mushannif menjadi kagum. Oleh karena itu, kepribadian wanita yang pertama aku cari adalah agamanya, tabi'atnya, kebaikannya, keturunannya, pendidikannya serta kepandaiannya. Semua ini bukan berarti tidak memandang suatu kecantikan (hal, 115-116).

Sebagian ulama memberikan berbagai nasihat tentang cara memilih pasangan hidup yang baik, sebagai berikut:
  1. Tanyakan, bagaimana pendidikan di dalam rumah tangganya, bukan menanyakan di mana ia sekolah.
  2. Menikah dengan puteri seorang yang shalih.
  3. Perkawinan merupakan kehidupan bersama, maka hendaknya memilih pasangan yang serasi denganmu, baik dari segi makanan, tabi'at maupun budi pekerti.
Ada seseorang yang bertanya: "Jika masalah agama yang lebih ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka bagaimana dengan masalah diperbolehkannya seseorang oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala menikahi perempuan Ahli Kitab?" Jawabnya adalah: "Sesungguhnya pembolehan menikah dengan wanita Ahli Kitab itu merupakan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap Ahli Kitab serta memberikan kesempatan kepada mereka agar mau kembali kepada agama fitrah yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, Nabi Musa 'Alaihissalam, Nabi Isa 'Alaihis-salam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sehingga para Ahli Kitab dapat menemukan kembali kebenaran yang hakiki dengan masuk ke agama Islam tatkala bergabung dengan kehidupan yang Islami."

Sebab itulah konteks Islam merupakan pengaruh yang cukup besar dan rulai-nilai yang sangat luhur untuk memasukkan isteri-isteri ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, sekalipun tidak secara keseluruhan.

Sebagian dari sahabat Nabi mengatakan: "Bahwasanya dibolehkan menikahi perempuan Ahli Kitab, karena pada waktu itu wanita muslimah masih sangat sedikit jumlahnya. Adapun diharamkannya menikahi mereka (wanita Ahli Kitab) pada waktu-waktu sesudahnya adalah lebih disebabkan oleh adanya kekhawatiran atas kembalinya para lelaki muslim kepada ke-yakinan semula dan disamping itu wanita muslimat telah banyak jumlah-nya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai pernikahan umat Islam dengan Kitabiyah Harabiyah. Ibnu 'Abbas berpendapat: "Tidak boleh menikah dengan para wanita Kitabiyah Harabiyah." Sedangkan jumhur ulama berpendapat: "Boleh menikah dengan mereka, hanya saja makruh hukumnya." Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta 'ala:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al Mujaadilah 22)

Adapun pendapat yang lebih kuat untuk dijadikan sebagai pegangan adalah pendapat Ibnu 'Abbas. Karena dikhawatirkan adanya bahaya yang lebih besar di dalam realita kehidupan saat ini.

Musthafa Shadiq Ar Rafi'i berkata di dalam kitabnya: "Wahai saudarasaudaraku, janganlah kalian mengawini orang asing. Jika seorang muslim --menikahi wanita asing--, maka akan terdapat enam kejahatan (jarimah) yang terdiri dari:

Pertama, menghilangkan hak-hak wanita muslimah untuk menikah dan membuat mereka menjadi tidak laku. Inilah yang disebut dengan jarimah wathaniyah.

Kedua, mencampur-adukkan perilaku-perilaku dan kelebihan-kelebihan kita, kemudian melebur dengan akhlaq orang asing dikarenakan lemahnya budi pekerti. Inilah yang disebut dengan jarimah akhlaq.
Ketiga, menyusupkan tipu daya kepada jiwa dan keturunan kita. Inilah yang disebut dengan jarimah sosial.

Keempat, orang asing (di luar Islam) itu akan seenaknya berbuat apa saja yang ia inginkan dalam lingkungan kita. Inilah yang disebut dengan jarimah politik.

Kelima, membuat pengaruh yang berlandaskan pada hawa nafsu ketika hendak menetapkan suatu hukum. Serta berusaha mencuci otak dari para keturunan kita, sehingga ia akan melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hatinya. Inilah yang disebut dengan jarimah agama.

Keenam, kemiskinan akhlaq sangat mempengaruhi, sehingga tidak lagi mempedulikan jarimah-jarimah yang telah disebutkan. Inilah yang disebut dengan jarimah kemanusiaan.

Yang dimaksud orang asing dalam konteks hadits di atas ialah wanita-wanita Ahli Kitab. Sebab, kebanyakan dari orang asing itu adalah orang-orang musyrik. Karenanya, sangat tidak memungkinkan bahwa lelaki muslim bisa berkumpul (menikah) dengan mereka (Ahli Kitab). Allah Subhanahu wa Ta 'ala telah mengharamkan pria muslim untuk menikahi wanita-wanita Majusi dan wanita-wanita penyembah patung, sebagaimana firman-Nya:

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman adalah lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia sangat menarik hatimu. " (Al Baqarah 221)

Semua itu merupakan ketidakmungkinan bersatunya suami-isteri dalam dua aqidah yang berbeda. Sebab, bahayanya akan berakibat pada aqidah anak-anak dan kerusakan moral mereka. Apabila bahaya tersebut telah tergambar dengan jelas, maka hukum dikembalikan pada asalnya, yaitu haram.

Penulis berpendapat, bahwa dilarangnya perkawinan seorang mukmin dengan Ahli Kitab adalah karena terikat dengan tanggung jawab pendidikan anak-anak maupun agama. Juga sebagai tindak antisipasi agar tidak terjatuh dalam kemusyrikan. Karenanya, agar penyakit tersebut tidak menular kepada anak-anak, yang disebabkan oleh lemahnya kepribadian suami terhadap isterinya, hingga dapat mengakibatkan terbengkalainya pendidikan mereka dari segi kemaslahatannya.

Seperti diungkapkan di dalam sebuah kaidah fiqih: "Sesuatu (perkara) yang menjadi media akan sempurnanya sebuah kewajiban, maka ditetapkan hukumnya --perkara tersebut-- sebagai hal yang wajib." Atau dengan kata lain, mencegah kerusakan lebih utama daripada memperbaiki. Pada zaman sekarang, syarat tersebut sangat sulit, karena dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam bahaya.

0 comments:

Popular Posts