"YAYASAN ALKAUTSAR"

LEMBAGA SOSIAL DAN DAKWAH ISLAM JAKARTA - INDONESIA

KEWAJIBAN MELIHAT PELAMAR DAN YANG DILAMAR

Author
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Pernah aku bersama Nabi, lalu datanglah seorang laki-laki hendak memberitahukan kepada Nabi bahwa ia akan menikah dengan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Maka Nabi bertanya kepadanya: Sudahkah engkau melihatnya? Ia menjawab: Belum. Maka beliau berkata: Lihatlah! Karena, di mata kaum Anshar ada sesuatu." (HR. Muslim, Nasa'i dan Thabrani)

Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang kewajiban melihat pelamar dan yang dilamar, ada baiknya kita juga memperhatikan bahaya negatif yang banyak terjadi dikalangan keluarga muslim, yakni pergaulan yang di haramkan sebelum akad nikah dengan tujuan sebagai pengalaman dan percobaan. Karakter pergaulan semacam itu dapat kita jumpai pada kitab yang berjudul "Munkiraat AlIfraah ". Penulis menukil keterangan ini dari kitab tersebut.

Semoga peringatan ini menjadikan para orang tua lebih waspada dan berhati-hati terhadap peradaban yang menipu, yang sungguh tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Dengan menamakannya sebagai peradaban beserta taklid buta yang tidak sesuai dengan agama, juga akhlak kita, maka ketahuilah; bahwa pergaulan diantara dua calon pengantin dengan tujuan mencari pengalaman sebelum menikah adalah perbuatan yang sangat membahayakan.

Sementara dari pihak wali seolah melepaskan kendali pada individu yang belum mengenali seluk beluk kehidupan itu. Sehingga semakin sem-purna keburukan pergaulan itu tanpa adanya pengawasan dari rasa penye-salan, kerabat maupun terlepas dari kendali agama. Disanalah keduanya mendekati petaka dan menjadi santapan empuk bagi binatang buas (dalam hal ini nafsu syahwat) dengan mengatas namakan kebudayaan. Artinya, pihak terkait (wali) juga ikut berperan untuk menodai lembaran-lembaran bersih setiap harinya dengan pergaulan yang keji dan melanggar hak-hak wanita, sehingga menjadi kebiasaan yang tidak lagi dapat ditolelir.

Setelah puas ular mereguk aroma kenikmatan, tentulah ia akan merasa bosan. Karena, hal-hal yang dikuasai itu membosankan dan hal yang paling disenangi oleh manusia adalah hal-hal terlarang, maka ia pun meninggal-kan noda. Dengan tabi'at jahat yang ada dalam dirinya, maka ia berusaha untuk mencari mangsa baru. Dari sinilah meluas kenistaan dan rusaklah citra perkawinan. Hal tersebut menjadikan seorang pemuda tidak lagi ter-tarik pada ikatan perkawinan. Karena, ia bisa mendapatkan kebutuhan biologis tanpa harus menanggung beban-beban perkawinan.

Juga dari sinilah seorang pemuda berpaling menuju perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Hal ini dikarenakan kebudayaan semu yang membebani hidup mereka dan untuknya mereka dengan sukarela meninggalkan budaya, agama dan kehormatan. Sesungguhnya Islam memperingatkan dua orang yang bukan muhrim untuk tidak berkhalwat (berduaan ditempat yang sepi), karena syaitan bersama keduanya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Aku tidak meninggalkan —sesudahku— fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki, selain kaum perempuan (wanita)."

Islam memperbolehkan bagi peminang jika bersungguh-sungguh dan menyediakan segala sarana yang diperlukan untuk menikah dengan melihat wajah serta kedua telapak tangan, juga mengutus seseorang (perempuan lain) untuk mengetahui kepribadian dan akhlak wanita yang dipinang serta watak keturunannya. Karena, watak sang bapak biasanya menurun kepada anaknya.

Adapun jika hal-hal tersebut sampai pada taraf diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala, maka akan mendatangkan aib dan kerusakan. Manusia tidak akan menemui kebahagiaan, kecuali dengan menempuh jalan kembali kepada ketentuan yang diajarkan oleh syari'at dan membatasi pergaulan lawan jenis, yang masing-masing berbuat pada bidangnya tanpa melampaui batas.

Pengalaman empirik memberikan nasihat, bahwasanya seorang lelaki lebih merindukan dan mencintai wanita justru ketika wanita itu berada jauh darinya dan diasingkan dari pergaulan bebas serta terjaga —dengan memakai jilbab— dari pandangan jalang kaum lelaki.

Adapun alasan yang digunakan sebagai pendukung dari hadits Abu Hurairah diatas adalah hadits sahih berikut ini:

"Lihatlah perempuan yang hendak engkau pinang. Karena, hal itu dapat menjaga kerukunan diantara kalian berdua." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah dengan sanad sahih)

Maksudnya, dapat menjadikan pengikat atas cinta dan kasih sayang. Menurut Imam Ibnul Qayyim, bahwa yang dimaksud dengan makna kalimat "An Yu-dama Bainakuma" adalah cocok, sesuai atau serasi. Jika pertemuan keduanya sudah terwujud dan tidak ada keselarasan serta pertalian diantara keduanya, maka tidak akan kokohlah cinta. Bahkan mungkin tiada perasaan cinta sama sekali. Karena, keserasian diantara pasangan suami isteri itu adalah salah satu penyebab yang cukup kuat bagi terwujudnya cinta kasih.

Hal yang menyedihkan adalah banyaknya dari para wali yang memperkenankan peminang untuk melihat calon pasangannya hanya melalui foto yang pengambilan gambarnya justru dilakukan oleh ajnabi (orang yang bukan muhrim). Ini semua merupakan akibat dari meninggalkan sunnah Nabi dan berpegang pada tradisi yang salah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jika salah seorang diantara kalian melamar seorang wanita seraya mampu melihat hal-hal yang menggugah hati untuk segera menikahi wanita itu, maka laksanakanlah." (HR. Abu Dawud, Thahawi, Imam Ahmad didalam musnadnya, Ibnu Majah dan dinyatakan sebagai hadits sahih)

Dalam sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang lain dikemukakan:

"Jika salah seorang diantara kalian hendak melamar perempuan, maka diperbolehkan melihatnya —jika melihatnya hanya untuk meminangnya—, walaupun si wanita itu tidak mengetahuinya." (HR. Thahawi dan Ahmad didalam musnadnya dengan status sahih)

Sebagian sahabat memberlakukan hadits ini, yang diantaranya adalah Muhammad bin Musallamah Al Anshari. Sahl bin Abi Hatsmah berkata: "Aku melihat Muhammad bin Musallamah mengikuti Butsainah binti Dhahhak diatas tandu." Dengan penuh kehati-hatian aku bertanya: "Bagaimana engkau melakukan hal itu, sedangkan engkau adalah seorang sahabat Nabi?" Maka ia pun menjawab: "Aku pernah mendengar, bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Apabila terdetik dihati seorang laki-laki untuk melamar seorang perempuan, maka tiada salahnya untuk melihat perempuan dimaksud" (HR. Abu Hurairah, Thahawi dan Ahmad didalam musnadnya).

Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai batasan yang diperbolehkan untuk melihatnya. Sebagian madzhab membatasi pada wajah dan ke-dua telapak tangan, dimana batasan ini tidak ada hujjahnya dan mengesampingkan pemahaman sahabat.

Ada baiknya dalam kaitan ini penulis menyebutkan (untuk mengingat) perbuatan Nabi Sulaiman 'Alaihissalam ketika membangun istana dengan tujuan untuk melihat kedua betis dari Ratu Balgis. Sungguh Nabi Sulaiman 'Alaihissalam hendak menikahinya. Ketika Ratu Balqis melihat istana, ia mengira bahwa yang dilaluinya itu adalah kolam air, sehingga ia menyingkapkan kain yang ia kenakan dan terlihatlah kedua betisnya. Maka dilihatlah kedua betis Ratu Balgis oleh Nabi Sulaiman dan kemudian beliau menikahinya.

Di sini timbul pertanyaan, jika syar'i (pembuat hukum, Allah) men-tolelir kaum lelaki untuk melihat wanita sebelum menikah, apakah wali berhak memperlihatkan puterinya tanpa batasan hijab yang juga bersifat syar'i. Menurut hemat penulis, —Wallahu A'lam— boleh, selama pelamar melihat dalam batasan yang wajar, walaupun si wanita tidak mengetahuinya.

Ibnul Qayyim didalam kitabnya "Tahdzib As Sunan" Juz. III, hal. 25-26 menyebutkan: "Bahwa Abu Dawud memperbolehkan melihat seluruh tubuh wanita." Adapun menurut Imam Ahmad terdapat tiga riwayat. Pertama, boleh melihat hanya telapak tangan dan wajah. Kedua, melihat anggota tubuh yang biasa tampak seperti betis, lutut dan semisalnya. Ketiga, boleh melihat seluruh tubuhnya (dengan busana tentunya, Ed.).

Ibnu Qudamah dalam kitab "Al Mughni" Juz. VII, hal. 454 menyebutkan alasan diperbolehkannya melihat anggota badan yang biasa tampak. Yaitu, ketika Nabi memperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar (dipinang) tanpa sepengetahuannya. Berarti, beliau mengizinkan melihat anggota tubuh yang biasa tampak karena tidak mungkin memfokuskan pandangan pada wajah yang disertai dengan tampaknya anggota tubuh lainnya.

Sebagaimana diperbolehkan seorang lelaki melihat wanita yang akan dinikahinya, maka begitu juga hendaknya seorang wali melihat agama, akhlak dan keadaan lelaki yang meminang untuk kepentingan anaknya. Karena, sesudah menikah nanti, maka kebebasan anaknya akan dibatasi dengan sebab pernikahannya itu. Jika dinikahi oleh seorang suami yang fasiq atau penyebar (pembuat) fitnah, maka berarti sang wali telah mencelakai diri dan anaknya ("Minhaj Al Qashidin", hal. 71).

0 comments:

Popular Posts