"YAYASAN ALKAUTSAR"

LEMBAGA SOSIAL DAN DAKWAH ISLAM JAKARTA - INDONESIA

SEMUA SAHABAT RASULULLAH ADALAH ADIL DAN HARAM HUKUMNYA MENCACI MAKI MEREKA - 3

IJMA 'ULAMA TENTANG 'ADAALAH (KEADILAN SEMUA SHAHABAT RASULULLAH.

Al-Khatib Al-Baghdadi (beliau lahir th 392 wafat th 463) beliau berkata :"Para shahabat adalah orang-orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan mereka lebih baik dari semua orang yang adil dan orang-orang yang mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya. Ini merupakan pendapat semua Ulama".

Ibnu Abdil Barr (363-463H) berkata :"Para shahabat tidak perlu kita periksa (keadilan) mereka, karena sudah ijma' Ahlul Haq dari kaum muslimin yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa mereka semua Adil".

Ibnu Hazm (384-456H) berkata :"Semua shahabat adalah 'adil, utama diridhai, maka wajib atas kita memulyakan mereka, menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka".

Ibnu Katsir (701-774H) berkata ;"Semua shahabat adalah 'adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka di dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pun memuji prilaku dan ahlak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka mengharap ganjaran yang baik (dari Allah)".

Sebenarnya masih banyak lagi pujian dan sanjungan para Ulama tentang 'adalah (keadilan) shahabat, tetapi apa yang sudah disebutkan sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi orang yang punya bashirah.

SIKAP PARA ULAMA TENTANG PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA PARA SHAHABAT.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728H) menerangkan dalam Fatawa-nya :"Kami menahan tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang (kejelekan) mereka (semuanya) adalah dusta. Mereka (para shahabat) adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat mereka atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang lainnya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam".

Kata Ibnu Katsir :"Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ada yang terjadi secara tidak sengaja seperti Perang Jamal (antara Ali dengan 'Aisyah) dan adapula yang terjadi berdasar ijtihad seperti Perang Shiffin (antara Ali dengan Mua'wiyah). Ijtihad terkadang benar dan terkadang salah, akan tetapi (bila salah) pelakunya akan diampuni Allah dan akan dapat ganjaran kendatipun ia salah. Adapun jika ia benar ia akan dapat dua ganjaran. Dalam hal ini Ali dan para shahabatnya lebih mendekati kepada kebenaran daripada Mu'awiyah mudah-mudahan Allah meridhai mereka semuanya (Ali, 'Aisyah, Muawiyah dan para shahabat mereka)".

Meskipun perselisihan yang terjadi diantara para shahabat sempat membawa korban jiwa, yakni ada diantara mereka yang gugur, tetapi mereka segera bertaubat karena mereka adalah orang-orang yang selalu bertaubat kepada Allah dan Allah-pun menjanjikan taubat atas mereka. Allah berfirman.
"Artinya : Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (At-Taubah : 102).

PARA SHAHABAT TIDAK MA'SHUM.

Sesungguhnya persaksian Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat tentang hakikat iman mereka dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka tidaklah menunjukkan bahwa mereka ma'shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) atau mereka bersih dari ketergelinciran, karena mereka bukan Malaikat dan bukan pula para Nabi. Bahkan pernah diantara mereka segera istighfar dan taubat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Setiap anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat". (Hadits Hasan Riwayat Ahmad 3: 198, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim 4:244. Shahih Jami'us Shagir 4391, Takhrijul Misykat No. 2431).

Abu Bakar Ibnul 'Arabi berkata :"Dosa-dosa (yang dilakukan para shahabat) tidaklah menggugurkan 'adalah (keadilan), apabila sudah ada taubat".

Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa para shahabat yang pernah bersalah semuanya bertaubat kepada Allah dan mereka tidak bisa dikatakan nifaq atau kufur. Semua ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah sepakat bahwa para shahabat yang ikut serta dalam persengketaan, ikut dalam perang Jamal dan perang Shiffin, mereka adalah orang-orang yang beriman dan adil. Dan kesalahan mereka yang bersifat individu dan berjama'ah tidak menggugurkan pujian Allah atas mereka.

Abu Ja'far Muhammad bin Ali Al-Husain ketika ditanya tentang orang-orang (para shahabat) yang ikut serta dalam perang Jamal ia menjawab :"Mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang tetap dalam keimanan dan mereka bukan orang-orang kafir".

Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud, mereka berkata :"Ali bin Abi Thalib menyalatkan jenazah para shahabat yang memihak Mu'wiyah".

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG ORANG-ORANG YANG MENCACI MAKI/MENGHINA PARA SHAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

Imam Malik berkata ;"Orang-orang yang membenci para Shahabat Rasulullah adalah orang-orang kafir". (Tafsir Ibnu Katsir V hal. 367-368) atau IV hal. 216 cet. Daarus Salam Riyadh.)

Al-Qadhi 'Iyaadh berkata :"Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang yang menghina/mencaci maki para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam harus dihukum ta'ziir (yakni harus didera menurut kebijaksanaan hakim Islam -pen)". (Fathul Bari VII hal. 36).

Kata Imam Abu Zur'ah Ar-Raazi (wafat th 264H):"Apabila engkau melihat seseorang mencaci maki/menghina seseorang dari shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa orang itu adalah Zindiq (kafir). Yang demikian karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq, Al-Qur'an adalah haq dan apa-apa yang dibawa adalah haq dan yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (orang-orang zindiq) itu mencela kesaksian kita agar bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah (yakni agar kita tidak percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah -pen). Merekalah yang pantas mendapat celaan".

Imam Al--Hafizh Syamsuddin Muhammad 'Utsman Adz-Dzahabi yang lebih dikenal dengan Imam Adz-Dzahabi (673-747H) berkata :"Barangsiapa yang mencaci mereka (para shahabat) menghina mereka, maka sesungguhnya ia telah keluar dari agama Islam dan telah merusak kaum muslimin. Mereka yang mencaci adalah orang yang dengki dan ingkar kepada pujian Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan juga mengingkari Rasulullah yang memuji mereka dengan keutamaan, tingkatan dan cinta ... Memaki mereka berarti memaki pokok pembawa syari'at (yakni Rasulullah). Mencela pembawa Syari'at berarti mencela kepada apa yang dibawanya (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah)".

KHATIMAH.


Apa yang telah saya terangkan dari Al-Qur'an dan Sunnah kiranya sudah cukup jelas, lebih-lebih lagi dikuatkan dengan pendapat Jumhur Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Oleh karena itu sikap kaum Mu'minim terhadap mereka (para shahabat) adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, yaitu :

(a). Mereka sebaik-baik ummat.
(b). Kita diwajibkan mengikuti jejak langkah mereka dengan baik (At-Taubah : 100) dan tidak boleh menyimpang dari jalan mereka (An-Nisaa' : 15) dan berpegang kepada Sunnah Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
(c). Semua Shahabat adalah adil
(d).Kita tidak berkeyakinan bahwa para Shahabat ma'shum, karena tidak seorangpun yang ma'shum selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kita ridha kepada mereka dan kita mohonkan untuk mereka ampunan dan kita menahan dari apa yang terjadi di antara mereka (Al-Hasyr : 10).

KESIMPULAN.

Golongan Orientalis, Yahudi dan Syi'ah adalah golongan yang paling banyak mencaci dan menghina para Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Aqidah Syi'ah yang menyatakan para Shahabat tidak adil, bahkan mereka mengkafirkan, mereka adalah orang yang sesat dan menyesatkan dan orang-orangnya dinyatakan kafir.

Hukum mencaci/menghina para Shahabat adalah haram dan pelakunya akan dilaknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia. Sabda Nabi :"Barangsiapa mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia". (Hadist Riwayat Thabrani)

Orang Munafiq dan Murtad dan mati dalam keadaan demikian mereka adalah termasuk golongan kafir dan tidak termasuk Shahabat meskipun berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semua shahabat adalah adil dan tetap dikatakan orang-orang yang beriman, meskipun mereka berselisih (Al-Hujuraat 9-10).

Sebesar apapun infaq yang kita keluarkan di jalan Allah tidak akan dapat menyamai derajat seorang shahabat Rasulullah. Kita wajib mencintai para shahabat. Kita seharusnya mendo'akan orang-orang yang terlebih dahulu beriman dari pada kita :

"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman ; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (Al-Hasyr : 10)

SEMUA SAHABAT RASULULLAH ADALAH ADIL DAN HARAM HUKUMNYA MENCACI MAKI MEREKA - 2

MAKNA 'ADALATUS SHAHABAH

(1). Menurut Bahasa.
Adalah atau 'Adl lawan dari Jaur artinya kejahatan. Rojulun 'Adl maksudnya : seseorang dikatakan adil yakni seseorang itu diridhai dan diberi kesaksiannya. (Lihat Kamus Muktarus-Shihah hal. 417 cet. Darul Fikr).

(2). Menurut Istilah Ahli Hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Yang dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru'ah". (Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar hal. 29 cet. Maktabat Thayibah tahun 1404H).

(3). Penjelasan Istilah Ahli Hadits.
Maksud 'Adalatus Shahabah ialah :"Bahwa semua shahabat ialah orang-orang yang taqwa dan wara, yakni mereka adalah orang-orang yang selalu menjauhkan maksiat dan perkara-perkara yang syubhat. Para shahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari beliau". Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :"Dengan menyelidiki (semua keterangan) maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa semua shahabat berkeyakinan bahwasanya berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebesar-besar dosa, maka mereka menjaga sungguh-sungguh agar tidak terjatuh dalam berdusta atas nama beliau".

Al-Khatib Al-Baghdadi berkata :"Semua hadits yang bersambung sanadnya dari orang-orang yang meriwayatkan sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak boleh diamalkan kecuali kalau sudah diperiksa keadilan rawi-rawinya serta wajib memeriksa biografi mereka dan dikecualikan dari mereka adalah shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena 'Adalah (keadilan) mereka sudah pasti dan sudah diketahui dengan pujian Allah atas mereka. Allah memberitakan tentang bersihnya mereka dan Allah memilih mereka (sebagai penolong Rasul-Nya) berdasarkan nash Al-Qur'an".

Imam Syairaji berkata dalam Tabshirah fi Ushulil-Fiqh hal. 329 :"Semua shahabat sudah tetap keadilannya, maka tidak perlu lagi diperiksa tentang keadaan mereka".

DALIL-DALIL TENTANG KEADILAN SHAHABAT DARI AL-QUR'AN DAN SUNNAH.

(1). Allah Berfirman.

"Artinya : Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar dan kalian beriman kepada Allah". (Ali-Imran : 110).

"Artinya : Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan". (Al-Baqarah : 143)

(2). Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Menjelaskan Bahwa Para Shahabat Dan Umat Islam Yang Mengikuti Jejak Mereka Adalah orang-orang yang adil.

Sebagaimana sabda beliau.

"Artinya : Dari Abu Sa'id Al-Khudri adalah ia berkata :"Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Nuh akan dipanggil pada hari kiamat. Lalu ia jawab :"Aku penuhi panggilan-Mu dan Maha Bahagia nama-Mu wahai Rabb-ku". Allah bertanya :"Apakah sudah engkau sampaikan (dakwah/risalah) ?". Ia berkata :"Ya sudah". Lalu umatnya di tanya ;"Apakah ia sudah menyampaikan (risalah) kepada kalian ?." Mereka berkata :"Tidak pernah ada pengancam (Da'i) yang datang kepada kami ?! Allah bertanya lagi pada Nuh 'Alaihi sallam :"Siapakah yang akan menjadi saksi bagimu (bahwa kamu sudah menyampaikan risalah)?" Ia (Nuh) jawab :"Muhammad dan umatnya". Kemudian ia menjadi saksi bahwa ia telah menyampaikan risalah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi saksi atas kalian. Demikianlah Allah berfirman :"Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi saksi atas (perbuatan) kalian". Wasath dalam ayat ini bermakna adil.(Hadits Shahih Riwayat Bukhari/Fathul Bari 8 : 171-172 No. 4487).

(3).Allah Meridhai Mereka (Para Shahabat Dari Muhajirin Dan Anshar) Dan Orang-Orang Yang Mengikuti Jejak Mereka Dengan Baik.

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalirkan sungai-sungai didalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (At-Taubah : 100).

"Artinya : Sesungghnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepada mu (Muhammad) di bawah pohon". (Al-Fath : 18).

"Artinya : Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama beliau adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka ; kalian lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya ...". (Al-Fath : 29)

(4). Sifat-Sifat Para Shahabat Yang Disebutkan Dalam Al-Qur'an Adalah :

(a). Mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman (Al-Anfaal : 74).
(b). Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (Al-Hujuraat : 7)
(c). Mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan (At-Taubah : 20)
(d). Mereka adalah orang-orang yang benar (At-Taubah : 119)
(e). Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa (Al-Fath : 26)
(f). Mereka adalah orang-orang yang menjengkelkan orang-orang kafir dan mereka benci kepada kekafiran (Al-Fath : 29)
(g). Dan sifat-sifat lainnya yang termasuk dalam Al-Qur'an.

(5). Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Bersabda.

"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah zamanku ini, kemudian yang sesudah itu, kemudian yang sesudah itu, kemudian nanti akan ada satu kaum dimana persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya itu mendahului persaksiannya". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4:189, Muslim 7:184-185, Ahmad 1:378,417,434,442 dan lain-lain).

(6). Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Bersabda.

"Artinya :Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir".
Kata Ibnu Hibban :"Hadits ini sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa semua shahabat adil dan tidak satupun diantara mereka yang tercela dan lemah. (Al-Jarh wat Ta'dil oleh Abi Lubabah ; Ibnu Hibban 1:123).

"Artinya : Ibnu Abbas berkata : 'Janganlah kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat (sejam) itu lebih baik dari amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh) tahun". (Hadits Riwayat Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih)

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tidak akan masuk neraka seorang-pun dari orang-orang yang berba'iat di bawah pohon (di Hudaibiyyah)". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Muslim).

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad III:396 dari Jabir).

Penjelasan :
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas menunjukan dengan jelas bahwa para shahabat Ridwanullahi 'alaihim ajmain adalah orang-orang yang telah mendapat pujian dan sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya, mereka mempunyai jasa yang besar bagi Islam dan kum Muslimin.

Islam yang diterima oleh kaum Muslimin sampai hari Kiamat adalah berkaitan dengan pengorbanan para shahabat yang ikut serta dalam perang Badar dan perang-perang lainnya demi tegaknya agama Islam. Karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan umat Islam bahwa apa yang mereka infaq-kan dan belanjakan fii-sabilillah belumlah dapat menyamai derajat para Shahabat, meskipun umat Islam ini berinfaq sebesar gunung Uhud berupa emas atau barang-barang berharga lainnya.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata tentang Shahabat-shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :"Tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka. Mereka siang hari bergelimang pasir dan debu (di medan perang), sedang di malam hari mereka banyak berdiri, ruku' dan sujud (beribadah kepada Allah) silih berganti, tampak kegesitan dari wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di bara api bila mereka ingat akan hari pembalasan (Akhirat), tampak bekas sujud di dahi mereka, bila mereka Dzikrullah berlinang air mata mereka sampai membasahi baju mereka, mereka condong laksana condongnya pohon dihembus angin yang lembut karena takut akan siksa Allah, serta mereka mengharapkan pahala dan ganjaran dari Allah". Kemudian beliau berkata lagi :"Mereka adalah shahabat-shabatku yang telah pergi, pantas kita merindukan mereka dan bersedih karena kepergian mereka"

SEMUA SAHABAT RASULULLAH ADALAH ADIL DAN HARAM HUKUMNYA MENCACI MAKI MEREKA - 1

TAQDIM

Para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya keberbagai pelosok negeri, sehingga kita dapat merasakan ni'matnya iman dan Islam.

Perjuangan mereka dalam meninggikan kalimat Allah telah banyak menelan harta dan jiwa. Mereka adalah manusia yang sepenuhnya tunduk kepada Islam, benar-benar membela kepentingan umat Islam, setia kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa kompromi, mereka tunduk kepada hukum-hukum agama Allah, tujuan mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan Sorga-Nya.

Model dan corak kehidupan masyarakat Islam terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari, model masyarakat Islam seperti yang tercermin dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah benar-benar dipraktekkan oleh mereka dan hal yang seperti ini belum pernah kita jumpai dalam sejarah umat sejak dulu sampai hari ini. Hidup mereka dilandasi Iman, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka selalu berjalan dalam prinsip-prinsip yang telah digariskan Allah.

Persoalan 'Adalatus Shahabah (Keadilan Shahabat) sudah diyakini oleh umat Islam dari masa Shahabat sampai hari ini, bahwa merekalah orang-orang yang adil dan benar. Tetapi dalam rangkaian sejarah yang panjang ada saja kelompok yang selalu merongrong eksitensi perjuangan mereka bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelompok/golongan ini mengaku diri mereka "Islam" ? Mereka lebih terkenal dengan nama "kelompok Syi'ah atau agama Syi'ah" karena aqidah mereka berbeda dengan aqidah kaum muslimin. Agama Syi'ah yang dianut sekarang ini adalah Agama Syi'ah Immamiyah Itsna 'Asy'ariyah. Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asy'ariyah sejak dulu sampai hari ini telah sepakat mengkafirkan ketiga Khulafa'ur Rasyidin (mengecualikan Ali bin Abi Thalib) dan semua shahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali 3 atau 4 shahabat.

Semua buku-buku mereka dipenuhi dengan caci makian, penghinaan, dan laknat kepada Khulafa'ur Rasyidin dan shahabat-shahabat yang lainnya. Di dalam kitab Al-Furu'ul Kaafi jilid 3 fatsal Kitabur Raudhah hal.115 karangan Al-Kulaini disebutkan : Bahwa ada seorang murid Muhammad Al-Baqir bertanya tentang Abu Bakar dan Umar. Lalu ia jawab : "Tidak ada seorangpun yang mati dari kalangan kami (Syi'ah) melainkan benci dan murka kepada Abu Bakar dan Umar". Bahkan Khumaini dalam kitabnya Kasyful Asrar hal. 113-114 (cet. Persia) menuduh para shahabat kafir. Wal-'Iyaadzu billah.

Pengikut agama Syi'ah di Indonesia yang terdiri dari cendikiawan, mahasiswa dan orang-orang awam berusaha mencari-cari kesalahan individu dan meragukan 'adalah (keadilan) mereka para shahabat, untuk menguatkan aqidah mereka yang rusak tentang shahabat dan tujuannya untuk merusak Agama Islam, karena bila shahabat sudah dicela maka otomatis Al-Qur'an dan Sunnah dicela, karena merekalah (shahabat) yang pertama kali menerima risalah Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengikut agama Syi'ah berusaha agar Islam ini hancur.

Membicarakan sikap dan kedudukan shahabat dan mengkritiknya berarti mengkritik Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meragukan keadilan mereka berarti meragukan kesaksian Allah dan pujian Allah serta pujian Rasulnya terhadap mereka.

Orang-orang Syi'ah mengkritik para shahabat dengan menggunakan portongan-potongan ayat Qur'an dan hadits Nabi untuk kepentingan hawa nafsu mereka, dan meninggalkan puluhan ayat dan ratusan hadits Nabi yang shahih yang memuji keadilan shahabat.

Standar nilai dan tolok ukur prilaku mereka yang tepat adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagai penguat adalah pendapat Jumhur Ulama kaum Muslimin.

Oleh karena itu penulis akan paparkan nash-nash tentang 'adalah shahabat.

DIFINISI SHAHABAT

(1). Menurut Lughah (Bahasa).
Shahabi diambil dari kata-kata Shahabat = Persahabatan, dan bukan diambil dari ukuran tertentu yakni harus lama bersahabat, hal ini tidak demikian, bahkan persahabatan ini berlaku untuk setiap orang yang menemani orang lain sebentar atau lama. Maka dapat dikatakan seseorang menemani si fulan dalam satu masa, setahun, sebulan, sehari atau sejam. Jadi persahabatan bisa saja sebentar atau lama. Abu Bakar Al-Baqilani (338-403H) berkata : "Berdasarkan defenisi bahasa ini, maka wajib berlaku difinisi ini terhadap orang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kendatipun hanya sejam di siang hari. Inilah asal kata dari kalimat Shahabat ini".

(2). Menurut Istilah Ulama Ahli Hadits.
Kata Ibnu Katsir : "Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau".

Kata Ibnu Katsir :" Ini pendapat Jumhur Ulama Salaf dan Khalaf (Ulama terdahulu dan belakangan)".

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani melengkapi definisi Ibnu Katsir, ia Berkata :"Definisi yang paling shahih tentang Shahabat yang telah aku teliti ialah : "Orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam". Masuk dalam difinisi ini ialah orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik lama atau sebentar, baik meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang tidak pernah melihat beliau karena buta. Masuk dalam definisi ini orang yang beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam dan wafat dalam keadaan Islam seperti Asy'ats bin Qais.

Kemudian yang tidak termasuk dari definisi shahabat ialah :

(a). Orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir meskipun dia masuk Islam sesudah itu (yakni sesudah wafat beliau).
(b). Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
(c). Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad. Wal'iyaadzu billah.

Keluar pula dari definisi shahabat ialah orang-orang munafik meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah dan Rasul-Nya mencela orang-orang munafik, dan nifaq lawan dari iman, dan Allah memasukkan orang munafik tergolong orang-orang yang sesat kafir dan ahli neraka (Lihat : Al-Qur'an surat An-Nisaa : 137,138,141,142,143,145. Juga surat Ali Imran : 8 - 20).

Sistim mu'amalah yang diterapkan oleh Rasulullah dan para shahabat dalam bergaul dengan orang-orang munafiqin jelas menunjukan bahwa shahabat bukanlah munafiqin dan munafiqin bukanlah shahabat. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa diantara shahabat ada yang munafik !!! Ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas membedakan mereka :

Allah menyuruh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi orang-orang kafir dan munafiq (At-Taubah:73, At-Tahriim:9), sedangkan kepada orang-orang yang beriman , Allah menyuruh beliau menyayangi mereka (Asy-Syu'araa' :215, Al-Fath:29).

Orang-orang munafiq tidak mendapat ampunan dari Allah (At-Taubah:80, Al-Munafiquun:6), sedangkan orang-orang beriman mendapatkan ampunan dari Allah (Muhammad:19).

Nabi, para shahabat dan orang-orang yang beriman dilarang menyalatkan mayat munafiqin (At-Taubah:84) sedangkan mayat orang yang beriman wajib di shalatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Dan ayat-ayat lain serta hadits yang membedakan mereka.

(3). Pendapat Ulama Tentang Definisi Shahabat.
Definisi yang diberikan oleh Ibnu Hajar merupakan definisi Jumhur Ulama di antara mereka ialah Imam Bukhari, Imam Ahmad, Imam Madini, Al'iraqi, Al-Khatib, Al-Baghdadi, Suyuti dll. Ibnu Hajar berkata : Inilah pendapat yang paling kuat. Di antara ahli Ushul Fiqih yang berpendapat demikian Ibnul Hajib, Al-Amidi dan lain-lain.

BAGAIMANA BISA DIKETAHUI SESEORANG ITU DIKATAKAN SHAHABAT ?

Kita dapat mengetahui seseorang itu dikatakan shahabat dengan :
(a). Kabar Mutawatir seperti Khulafaur Rasyidin dan 10 orang ahli surga.
(b). Kabar yang masyhur yang hampir mencapai derajat mutawatir seperti Dhamam bin Tsa'labah dan 'Ukkaasyah bin Mihsan.
(c). Dikabarkan oleh seorang shahabat lain atau oleh Tabi'i Tsiqat (terpercaya) bahwa si fulan itu seorang shahabat, seperti Hamamah bin Abi Hamamah Ad-Dausiy wafat di Ashfahan. Abu Musa Al-Asy'ari menyaksikan bahwa ia (Hamamah) mendengar hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
(d).Seseorang memberitakan tentang dirinya bahwa ia adalah seorang shahabat Rasulullah dan dimungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menurut pemeriksaan ahli hadits bahwa ia memang seorang yang adil dan wafatnya tidak melebihi tahun 110H.

LARANGAN MELAKUKAN ISBAL (MEMAKAI PAKAIAN HINGGA DI BAWAH MATA KAKI)

Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah berfirman :

"Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah mudah mudahan mereka selalu ingat." (Al A'raf : 26)

Allah memberikan nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang dimaksud ayat ini adalah memperindah secara dlohir. maka pakaian adalah suatu kebutuhan yang penting, sedangkan ar riisy adalah kebutuhan pelengkap.

Imam Ahmad meriwatkan dalam musnadnya, beliau berkata : Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu lusuh ia berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku”. Kemudian ia berkata : Aku mendengar Umar Ibn Khattab berkata : Rasulullah bersabda : "Siapa yang mendapatkan pakaian baru kemudian memakainya. Dan ketika telah lusuh dia berkata : Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan Allah dan hijab Allah, hidup dan matinya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dan Turmudzi berkata hadis ini gharib)

Ketika Allah telah memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan memperindah bentuk, Allah memperingatkan bahwa ada pakaian yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya yaitu pakaian taqwa. Yang pakaian taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan. Dan membersihkan dari berbagai kotoran. Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang diinginkan. Dan siapa yang tidak memakai pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya.

Bila seseorang tidak memakai pakaian taqwa,
Berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian

Pakaian taqwa terus melekat di diri seorang hamba, tidak lusuh dan hancur. Yaitu keindahan hati dan jiwa. Pakaian tubuh hanya menutupi aurat yang zhahir di suatu waktu saja, kemudian akan rusak. Allah berfirman.

“Itu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu mengingat” (Al-A’raf : 26)

Maksudnya: Pakaian yang disebut tadi adalah agar kalian agar mengingat nikmat Allah dan menyukurinya. Dan hendaknya kalian ingat bagaimana kalian butuh kepada pakaian dhahir dan bagaimana kalian butuh kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa.

Wahai para hamba Allah, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki laki.(Hadits Riwayat Bukhari, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i)

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Semoga Allah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita."(Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan beliau mensahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini shahih menurut syarat Muslim)

Haram bagi pria untuk melakukan Isbal pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar.

Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Allah Ta’ala berfirman :

"Dan janganlah engkau berjalan diats muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh." ( Luqman: 18 )

Dari Umar Radiyallahu ‘anhuma, ia berkata : Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." (Hadits Riwayat Bukhari dan yang lainnya)

Dan dari Ibnu Umar juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

"Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah di hari kiamat." (Hadits Riwayat Abu Daud, Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

"Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari dengan bunyi :

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka."

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Wahai para hamba Allah, dalam keadaan kita mengetahi ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita lihat sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau celananya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari'atkan.

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka. (Hadits Riwayat Malik dalam Muwaththa' ,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)

Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal, yaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan klub-klub olahraga, di lapangan-lapangan ?. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian karyawan.

Kedua paha adalah aurat yang wajib ditutupi dan haram dibuka. Dari 'Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

"Jangan engkau singkap kedua pahamu dan jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati." (Hadits Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami'il Ushul 5/451 : "sanadnya hasan")

Semoga Allah memberi manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan semoga Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya. Allah Ta'ala berfirman :

"Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (Al Hasyr : 7)

HUKUM UCAPAN MERRY CHRISTMAS (SELAMAT NATAL)

Pertanyaan:
Bagaimana hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang non-muslim? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?


Jawaban:
Mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (Ijma’). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata,

“Mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”

Mengenai kenapa Ibn al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridlai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya karena Allah Ta’ala tidak meridlai hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya.

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Az-Zumar:7)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (Al-Ma`idah :3)

Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.

Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman.

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran :85)

Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.

Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (Hadits Riwayat Abu Daud)

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidlâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm.

“Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan mengihinakan kaum lemah (iman).”

Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.

Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguh Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

HUKUM TENTANG KELUARGA BERENCANA (KB) - 3

Pertanyaan:
Kapan seorang wanita diperbolehkan memakai pil-pil atau pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang muslim melakukan azal (mengeluarkan mani di luar) ketika berjima tanpa sebab?


Jawaban.

Seyogyanya bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya.

"Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak jumlahnya umat" (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62)

Dan karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil.

"Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" (Al-Isra' : 6)

"Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu" (Al-A'raf : 86)

Dan tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya.

"Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya" (Hud : 6)

Maka Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.

Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.

(a) Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.

(b) Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah mmakaiannya membahayakan atau tidak.

Jika dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus keturunan.

Adapun point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut : Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara yang tidak terdapat dalam syari'at Islam, namun pencegahan kehamilan secara tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.

Adapun pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan 'azal ketika berjima' tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu 'anhu.

"Kami melakukan 'azal sedangkan Al-Qur'an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu 'alihi wa sallam)" (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu'aim dalam Al-hilyah 3/61-62)

Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber'azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak boleh ber'azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber'azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.

Berdasarkan keterangan ini maka 'azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami menysaratkan adanya ijin dari sang istri".

HUKUM TENTANG KELUARGA BERENCANA (KB) - 2

Pertanyaan:
Seorang teman bertanya hukum KB tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?


Jawaban:

Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari'atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israil.

"Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" (Al-Isra : 6)

"Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu' (Al-A'raf : 86)

Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :

(a) Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.

(b) Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa.

HUKUM TENTANG KELUARGA BERENCANA (KB) - 1

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum menggunakan KB?

Jawaban:
Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan muncul berkaitan dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)". (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62)

Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.

Maka wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :

(a). Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.

(b). Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.

Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh".


Pertanyaan:
Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?

Jawaban:

Tidak berdosa dan tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (yang terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya.

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH - 3

Dari Madzhab Malik:
Ahmad Ad-Darudir, (Dia Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad Al-‘Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Wafat 1201 H. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359.) penulis Asy-Syarhul Kabir, "Kekufu’an adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh meninggalkannya."( Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249.) Ad-Dasuqi (Dia Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Dia belajar dan tinggal serta wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. Lihat Al-A’lam Az-Zarkali 6/17.) menyetujui itu dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh (Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad ‘Ulaisy dalam Taqrirat-nya (Lihat Taqriqat Muhammad ‘Ulaisy ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249)

Dari Madzhab Syafi’i:
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi,( Dia Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad dan ber-tafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma’ dan lain-lain. Lihat Fawayantul A’yan 1/29). pengarang Muhadzdzab, "Kekufu’an adalah pria fasik tidak dianggap sekufu’ dengan wanita yang terhormat." (Juz 2/50).
Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu’, "Dan juga ‘iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang ‘afifah (terhormat)." (Al-Minhaj ma’a Mughnil Muhtaj 3/166)

Muhammad Asy-Syarbini (Dia Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri, Asy-Syafii, Al-Khatib Al-Imam Al-‘Allamah. Ijma’ orang-orang Mesir atas keshalihannya dan ahli-ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal, zuhud dan wara’. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh yang besar. Wafat tahun 977 H. Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384) berkata, "Keempat: Al-‘Iffah. Yaitu agama, keshalihan,dan mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang memiliki ‘iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya … Beliau berkata, "(Pernikahan) seorang pria mubtadi’ dengan wanita Sunni sama seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki ‘iffah." (Mughnil Muhtaj 3/166)

Dari Madzhab Hambali:
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi,22 "Dan kekufu’an: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan
" Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufu’an berbeda-beda. Beliau memiliki dua syarat: kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan, juga ada yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan dan harta. Beliau berkata tentang dianggapnya agama sebagai kekufu’an adalah berdalil dengan ayat:

"Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama." (As-Sajdah: 18)

Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi sekufu’ dengan wanita sejenisnya." (Al-Mughni 9/391).
Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufu’an dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa: kekufu’an dalam pernikahan merupakan syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan ke-kufu’-an sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak menganggap kebaikan dalam kekufu’an.

Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi’ -yang bid’ahnya tidak membawanya kepada kekafiran- dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi’ tidak sekufu’ dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufu’an adalah hak bagi sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak untuk menikahkan sang mubtadi’ dan untuk menggugurkan akad karena tidak sekufu’. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu a’lam.

Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu’an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu’ dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu’an bagi sang wanita untuk sekufu’ dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu ‘Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah Az-Zuhaili 7/239, Al-Fiqh ‘Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul ‘Ainain hal. 162)

Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi’ Dengan Wanita Sunni.

Secara syari’at, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bid’ah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bid’ah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.

Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.

Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam dan suci). Maka orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan da kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247)." (HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla ‘Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu ‘Alal Fitrah 4/2047 no. 2658). Selain ini, juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.

Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi’, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi’ tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi’ ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi’ tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syari’at, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah -akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami- karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, "Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi’, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita." (Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81)

Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah -jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya- berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka ber-wala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.

Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia-nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.

Imam Malik berkata, "Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah-jenazah mereka." (Al-Mudawanah 1/84)

Imam Ahmad berkata, "Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya." (Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45).

Dengan ini kami tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syari’at dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.

APAKAH DO'A BISA MERUBAH KETENTUAN?

Pertanyaan:
"Apakah do'a berpengaruh merubah apa yang telah tertulis untuk manusia sebelum kejadian?"

Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa do'a berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan itupun sudah digariskan melalui do'a. Janganlah anda menyangka bila anda berdo'a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do'a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga tertulis. Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang mendo'akan orang sakit, kemudian sembuh, juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum. Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca do'a kepadanya (supaya sembuh). Kemudian para sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian mereka (kaum) memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah untuknya. Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari teralinya. Maka bacaan do'a tersebut berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.

Dengan demikian, do'a mempunyai pengaruh, namun tidak merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah tertulis dengan lantaran do'a yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena Qadar Allah, begitu juga segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan izin Allah. Maka semua sebab telah tertulis dan semua musabab juga telah tertulis.

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH - 2

Ijma’ tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Ulaisy (Dia Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, ‘Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Dia banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesir. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385) dari kalangan para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-‘Allamah Muhammad ‘Ulaisy terhadap Hasyiyah Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249. ) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami. (Lihat Al-Fiqhul Islami ‘ala Adillatuhu 7/152)

Secara umum, keharaman menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk masalah yang masyhur dan jelas di kalangan para ulama. Hingga, sebagian mereka mewajibkan dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir dan si wanita muslimah bila terjadi akad antara keduanya dengan menikahkan setelah dibatalkan. Mereka juga menghukumi setiap orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Hamman Al-Hanafi (Dia Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas’ud As-Siausi yang terkenal dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam lagi sangat cerdas. Dia juga seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H. Lihat Syudzuratudz Dzahab 7/29) dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau berkata, "Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita muslimah. Kalau sampai terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui status pria. Dan juga orang yang ikut andil, pria atau wanita." (Syarh Fathul Qadir 2/506)

Yang dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi’ kafir akibat bid’ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah, menurut nash-nash Al-Kitab dan ijma’ umat ini berupa keharaman dinikahinya wanita muslimah oleh pria kafir dan masuknya mubtadi’ kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum tentangnya.

Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari para salafush shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang keharaman menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir dari Ahlul Bid’ah, dan rusaknya serta batalnya pernikahan tersebut.

Di antara atsar-atsar tersebut:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka beliau membaca ayat:

"Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musrik walaupun dia menarik hatimu." (Al-Baqarah: 221). (As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 151, dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalikai 2/731).

Dari beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang lebih baik, tidak berbicara dengan mereka atau memusuhi mereka? Beliau berkata, "Ya, jika dia memang paham terhadap apa yang dia yakini ….. " Dan beliau berkata, "Dan saya berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)." (Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150)

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dia pernah ditanya oleh seseorang, "Saya memiliki famili yang Qadari, apakah saya boleh menikahinya?" Beliau berkata, "Tidak. Tidak ada kehormatan baginya." (Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/735)

Dari Abdurrahman bin Malik, ia berkata, "Tidak ada Ahlul Bid’ah yang lebih jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling sambil mengatakan, "Di langit tidak ada apapun." Saya berpendapat, "Demi Allah, mereka tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris." (Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Kitabus Sunnah 1/157)

Dari Muhammad bin Yahya (Muhammad bin Yahya bin Abi Umar Al-‘Adani, dia tinggal di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur lagi mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu ‘Uyainah, tetapi Abu Hatim berkata, "Padanya ada kelalaian." Wafat 243 H. ), ia berkata, "Siapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk, dia kafir. Siapa abstain, dia lebih jahat dari yang mengatakan makhluk. Tidak boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah) …" (Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah 2/325)

Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan keharaman menikahkan Ahlul Bid’ah yang kebid’ahan-kebid’ahannya sampai ke batas kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid’ah yang sama hukumnya dengan mereka yang telah pasti dihukumi dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah. Menikahnya mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan sebab kekafiran mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung, sebagaimana ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan madzhab Salaf dalam hal itu.

Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari (Dia Abul Qasim Abdul Haq bin Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang yang terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar kepadanya. Dia berumur panjang. Wafat tahun 460 H. Lihat Ad-Dibaj Al-Madzhab, Ibnu Farihan 2/22.) rahimahullah, beliau ditanya tentang suatu kaum dari Ibadhiyah yang berpegang dengan madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di antara kaum muslimin, serta mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar bertambah kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka apakah boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan-pernikahan mereka itu dan memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab mereka?

Maka beliau berkata, "… Pernikahan yang mereka lakukan dengan para wanita kita (wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan, penjara dan pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang benar, dan kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah. Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan, maka dia wajib melakukannya." (Tabshuratul Hukkam, Ibnu Farihan yang dicetak dengan footnote Fathul ‘Aliyil Malik 1/425).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum menikahkan seorang pria Rafidlah (dengan wanita Ahlus Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima, "Tidak boleh seorang pun menikahkan budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Rafidlah dan orang yang meninggalkan shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab Rafidlah dan meninggalkan shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya." (Majmu’ Fatawa 32/61).

Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar’i dan ucapan-ucapan para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari’at dan sikap Ahlus Sunnah tentang pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, bahwa pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak halal sama sekali, sama saja apakah mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pria Ahlus Sunnah untuk menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul Bid’ah yang kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk menikahi wanita dari mereka. Hal itu merupakan ijma’ Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam.

Adapun jika si mubtadi’ tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah ‘sekufu’ dalam pernikahan’. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini menurut bentuk yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi’ tadi.

Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang persyaratan "kufu’" dalam pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa persyaratan kufu’ bukan syarat kesahan pernikahan dan juga bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Basyri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan Hanafiyah.

Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa kufu’ adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu’, maka akad tersebut benar. Para walinya memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu’, maka wanita tersebut memiliki hak untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau menggunakan haknya, maka boleh.

Masalah sekufu’ dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. Hakini tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan, yakni kalau salah satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan.Ini berbeda bila kufu’ adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad pernikahan tanpa sekufu’ tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara syarat yang mesti dan syarat sah. (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad-Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy-Syarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana’, Al-Bahuti 5/72 dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234)

Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu’ adalah syarat keharusan nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang dianggap dalam kekufu’an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini adalah menganggap "keagamaan" termasuk bagian kufu’ dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat ijma’ mayoritas fuqaha’ yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin Al-Hasan (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat) dari Hanafiyah, karena beliau tidak menganggap kekufu’an dalam masalah agama. Beliau berkata, "Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu’ termasuk hukum-hukum dunia." (Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423)

Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan "keagamaan" di sini adalah sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan "takwa dan wara", yaitu sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi’ (Syaikh Ma’a ‘Ulaisy terhadap Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang dimaksudkan dengan "keagamaan" adalah beragama Islam, karena agama Islam syarat kesahan akad menurut ijma’, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi, sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.

Inilah ucapan-ucapan para fuqaha’ dalam menganggap permasalahan kufu’ dalam keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat madzhab:

Dari Madzhab Hanafi:

Penulis kitab Bada’iush Shana’i berkata di bawah judul "Hal yang dianggap termasuk kekufu’an": "Di antaranya: Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang shalih bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada." (Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320)

Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani,( Dia adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu. Wafat tahun 593 H. Lihat Al-Fawa’id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, Al-Kinani hal. 141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata, "Dan itu benar (Al-Hidayah dengan Syarh Fathul Qadir 2/422.) yaitu: Termasuk madzhab keduanya menurut yang diterangkan Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir." (Syarh Fathul Qadir 2/422)

ADAKAH TINGKAT KEIMANAN KEPADA QADHA' DAN QADAR

Pertanyaan:
Bagaimanakah penjelasan tentang Iman kepada Qadha' dan Qadar?"

Jawaban:
Iman kepada Qadar adalah salah satu dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada Qadar adalah masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman dahulu, sampai hari inipun mereka masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut, walillah al-Ham, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sunggung telah menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]

Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang mengikutinya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan (dunia) maupun akhiratnya.

Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.

[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya. Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit" [ Ali-Imran:5]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Bagi-Nya kunci-kunci segala sesuatu yang gaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang di darat dan di laut dan tidak ada sehelai daunpun yang gugur kecuali Dia mengetahui-Nya dan tidak ada satu benihpun di kegelapan bumi dan tak ada sesuatupun yang kering dan basah kecuali ada di dalam kitab yang jelas" [Al-An'am : 59]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dan Aku mengetahui apa yang dibbisikkan hatinya" [Qaf : 16]

Dia juga berfirman.

''Artinya : Allah mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 283]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir, karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan kesempurnaan Allah. Karena kebalikan ilmu adalah mungkin bodoh atau alpa dan keduanya berupa aib (cacat). Allah terlah berfirman tentang Nabi Musa ketika dia ditanya oleh Fir'aun.

"Artinya : Maka apa saja yang telah terjadi di abad-abad terdahulu, dia (Musa) menjawab : Pengetahuan tentang itu di sisi Rabb-ku di dalam kitab yang Rabb-ku tidak akan salah dan alpa ( di dalamnya)" [Thaha : 51-51]

Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang telah lewat.

[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat, karena ketika Dia menciptakan Qalam, Dia berfirman kepadanya : "Tulislah", kemudian dia (Qalam) berkata : "Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?" Dia berfirman : "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemduian dia (Qalam) seketika berjalan menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz ketetapan segala sesuatu. Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj : 70]

Allah juga berfirman. "Sesungguhnya itu semua berada dalam kitab", artinya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz). (Sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah). Kemudian penulisan tersebut terkadang bersifat rinci. Maka janin yang ada di perut ibunya bila melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus malaikat kepadanya dan mengutusnya membawa empat kalimat, yaitu menulis rizki, ajal, perbuatan, celaka atau bahagia, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan di tulis juga di dalam Qadar apa saja yang terjadi dalam tahun itu.

Sebagaimana Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menurunkan pada malam yang berkah, sesungguhnya Aku memberi peringatan di dalamnya tentang perbedaan sesuatu yang mengandung hikmah, sebagai perintah dari-Ku, sesungguhnya Aku Rabb Yang Mengutus" [Ad-Dukhan : 3-5]

[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah. Segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk. Allah telah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya" [Al-An'am : 149]

Dia juga berfirman

"Artinya : Kalau Rabb-mu menghendaki maka Dia menjadikan umat manusia menjadi umat yang satu" [Hud : 118]

Dia juga berfirman.

"Artinya : Bila Dia (Allah) menghendaki maka Dia memusnahkanmu dan mengadakan penciptaan yang baru" [Fathir : 16]

Dan masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-Nya terjadi karena kehendak-Nya. Begitu juga segala perbuatan makhluk terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidak terjadi saling bunuh di antara orang-orang setelah mereka datang penjelasan kepada mereka, akan tetapi mereka berselisih ; sebagian mereka beriman dan sebagian kafir. Dan apabila Allah menghendaki maka mereka tidak saling membunuh, akan tetapi Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki" [Al-Baqarah : 53]

Ini adalah nash (teks Al-Qur'an) yang sangat jelas bahwa semua perbuatan hamba telah dikehendaki Allah dan apabila Allah tidak menghendaki mereka untuk melakukannya maka mereka tidak akan melakukan.

[4]. Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan selain-Nya Dia adalah makhluk. Segala sesuatu, Allah-lah penciptanya dan semua makhluk adalah ciptaan-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifatnya, sedangkan manusia itu makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]

Dengan demikian, Allah telah menetapkan penciptaan manusia dan perbuatannya. Allah juga berfirman : "Wa ma ta'malun" (dan apa saja yang kamu perbuat). Para ulama berselisih pendapat tentang kata "ma" (apa saja), apakah dia berupa "ma masdhariyah" (sehingga tidak bermakna) atau "ma maushulah" (sehingga bermakna apa saja). Berdasarkan dua perkiraan di atas ( ma mashdariyah atau ma maushulah), maka ayat tersebut tetap menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. inilah keempat tingkatan keimanan kepada Qadar yang harus diimani, tidak sempurna keimanan seseorang terhadap Qadar kecuali dengan mengimani keempat-empatnya.

Kemudian ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pelaksanaan sebab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahirkan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah ; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah ? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata : Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?" Umar menjawab : " Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk memenui kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.

"Artinya : Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya".

Kesimpulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu merupakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan " saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dikatakan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan berupaya mencari rizki dan tidak melaksanakan sebab-sebab mendapatkan rizki", maka dia adalah dungu. Maka iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap palakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu di luar perhitungan dan tidak perlu diperhatikan.

Kemudian ketahuilah bahwa adanya kesulitan dalam mengimani Qadar (padahal sebenarnya tidak sulit), yaitu pertanyaan seseorang : "Apabila perbuatanku dari Qadar Allah, maka bagaimana saya harus menanggung akibatnya sementara semua itu dari Qadar Allah ?"

Jawabannya.
Hendaknya dikatakan kepadanya kamu tidak bisa beralasan malakukan ma'siyat dengan Qadar Allah, Karena Allah tidak memaksamu untuk melakukannya dan ketika kamu dihadapkan kepadanya (ma'siyah) kamu tidak tahu bahwa hal itu ditakdirkan untukmu. Karena manusia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepadanya kecuali setelah terjadi. Karena itu, kenapa kamu tidak memperkirakan sebelum berbuat bahwa Allah telah mentakdirkan ketaatan kepadamu, sehingga kamu melaksanakannya .? Begitu juga dalam hal duniawi, kamu melakukan sesuatu yang kamu anggap ada kebaikannya dan menghindari yang kamu anggap berbahaya. Maka mengapa kamu tidak bersikap demikian dalam urusan akhirat ? Saya tidak yakin jika ada seseorang yang sengaja menempuh jalan yang sulit lalu dia berkata : "Ini telah ditakdirkan untukku, bahkan tentunya dia akan menempuh jalan yang paling aman dan mudah. Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan perkataan yang diarahkan kepadamu bahwa Jannah mempunyai jalan dan Neraka juga mempunyai jalan. Maka apabila kamu menempuh jalan menuju Neraka, maka kamu bagaikan orang yang menempuh jalan yang mengkhawatirkan dan mengerikan. Maka mengapa kamu merelakan dirimu menempuh jalan menuju Neraka Jahim dan meninggalkan jalan menuju Jannah Na'im ? Kalau saja manusia boleh beralasan dengan Qadar tatkala melakukan ma'siyat, maka tentunya tidak ada gunanya diutusnya para rasul. Allah terlah berfirman.

"Artinya : Aku telah mengutus para rasul yang memberi berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak mempunyai alasan kepada Allah setelah para rasul" [An-Nisa' : 165]

Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar memiliki buah yang agung bagi perjalanan manusia dan hatinya, karena apabila kamu beriman bahwa segala sesuatu terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah, maka ketika dalam kelapangan kamu akan bersyukur kepada Allah dan tidak membanggakan diri dan tidak melihat bahwa semua itu hasil kemampuan dan keutamaan, akan tetapi sebaliknya kamu meyakini bahwa ini hanya sebab dan bila kamu telah berhasil melaksanakan sebab yang menjadikan kamu mendapatkan kelapangan dan meyakini bahwa karunia tetap di tangan Allah, maka kamu akan bertambah syukur dan hal ini akan mendorong kamu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya, dan kamu tidak akan melihat kelebihan pada dirimu di atas Rabb-mu bahkan sebaliknya kamu melihat anugrah Allah kepadamu. Allah telah berfirman.

"Artinya : Mereka memberi anugrah keadamu dengan masuk Islam mereka, katakanlah : kamu tidak memberi anugerah kepadaku dengan masuk Islammu akan tetapi Allah-lah yang telah memberi anugrah kepadamu untuk menunjukkan kepadamu pada iman, bila kamu benar" [ Al-Hujurat : 17]

Begitu pula manakala kamu tertimpa kesusahan (musibah), maka kamu tetap percaya kepada Allah, menerima dan tidak terlalu menyesal karenanya bahkan tidak diliputi kegundahan (yang berat). Bukankah anda tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan membukakan perbuatan syetan".

Maka dengan demikian beriman kepada Qadar mengandung kedamaian jiwa dan hati dan hilangnya kegundahan karena kegagalan, serta hilangnya kekhawatiran untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman.

"Artinya : Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan di dalam dirimu sendiri kecuali telah ada dalam kitab sebelum Aku membebaskannya, sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah, agar supaya kamu tidak bersedih atas kegagalanmu dan tidak terlalu bergembira atas apa (nikmat) yang diberikan kepadamu" [Al-Hadid : 22-23]

Orang yang tidak percaya kepada Qadar sudah pasti mengamali kegoncangan ketika tertimpa musibah dan akan bersedih dan syetanpun kana membuka pintu untuknya dan dia akan merasa terlalu bersuka ria dan terlena ketika mendapat kegembiraan. Akan tetapi iman kepada Qadar akan mampu mencegah itu semua.

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH - 1

Melakukan pernikahan dengan Ahlul Bid’ah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: tidak ber-wala’ (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid’ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan dengan Ahlul Bid’ah.)

Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanita-wanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi’ (Ahlul Bid’ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena kebid’ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid’ahannya belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan.

Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas menurut keadaan yang disebutkan tadi:

Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak halal menikahi wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya, mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ (sepakat) tentang keharaman menikah dengan orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi (yaitu: menikah dengan mereka dan dinikahi mereka).

Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir lagi musyrik adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu." (QS. Al-Baqarah: 221)

Juga firman Allah:
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir." (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah secara umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan Allah hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu." (QS. Al-Maidah: 5)

Sehingga, hal-hal yang Allah beri keringanan padanya, seperti (laki-laki dari Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab, adalah boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita penyembah patung dan berhala, atau bintang-bintang dan api. Sehingga, wanita-wanita Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan wanita-wanita tadi, walau mereka (wanita-wanita Ahlul Bid’ah itu) mengaku sebagai muslimah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam tafsir-nya ayat pertama tadi (2: 221), "Ini adalah pengharaman dari Allah yang dibebankan kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para wanita musyrikah dari (golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya: "(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya." (Al-Maidah: 5) (Tafsir Ibnu Katsir 1/257).

Banyak ulama yang menukil ijma’ para ulama yang mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul Kitab.

Ibnu Qudamah berkata, "Dan semua orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dia anggap baik dari berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka." (Al-Mughni 9/548)

Syikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kandungan pembicaraannya tentang Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.) dan hukum-hukum tentang mereka, "Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan makanan mereka."

Dr. Wahbah Az-Zahaili berkata tentang kesimpulan masalah ini dalam pembahasannya, "Telah sepakat tidak halal untuk menikahi wanita yang tidak memiliki kitab, seperti para penyembah berhala dan penyembah api (Majusi), karena tidak ada satu kitab pun ditangan para pengikutnya sekarang dan kita tidak yakin kalau mereka memilikinya sebelumnya, maka kita harus berhati-hati." (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Az-Zahaili 7/152).

Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah selain Ahlul Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma’ para ulama terhadap hukum itu.

Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman menikahi para wanita Ahlul Bid’ah yang musyrikah seperti wanita-wanita Jahmiyah, Qadariyah, dan Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang lebih keras dari keharaman itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari firqah Bathiniyah seperti Daruliz, Nushairiyah, dan lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti Hululiyah dan Tanasukhiyah, karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut keterangan yang telah saya sampaikan, (ini ucapan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) berupa ucapan-ucapan para ulama yang khusus berbicara tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman menikahi para wanita mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan kepastian haramnya menikahi wanita-wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.

Inilah sebagian ucapan-ucapan para ulama tentang hal itu:
Ibnu Baththah meriwayatkan dari Thalhah bin Musharaf (Thalhah bin Musharraf bin ‘Amr bin Ka’b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. Lihat At-Taqrib hal. 283) rahimahullah, bahwa dia berkata, "Tidak boleh menikahi para wanita dari Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad." (Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 161)

Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum shalat di belakang Mu’tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata, "Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir." (Tafsir Al-Qurthubi, 7/141)

Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal Firaq, beberapa ucapan para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.

Maka beliau menyebutkan, "Kelompok ekstrim dari kalangan Rafidlah As-Siba’iyah, Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah, Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan Maimunah." Kemudian berkata, "Hukum terhadap kelompok-kelompok yang kita sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum orang-orang yang murtad dari agama. Tidak halal memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi para wanita mereka." (Al-Farqu Bainal Firaq hal. 357)

Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan hukum-hukum terhadap kelompok Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan rinci dalam kitab Fadla’ilul Bathiniyah, "Adapun menikahi para wanita mereka haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi wanita yang murtad. Tidak halal menikahi wanita Bathiniyah -secara keyakinan- disebabkan kekafiran mereka yang telah kita sebutkan sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.) menjijikkan yang telah kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik agamanya kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu juga." (Fadla’ilul bathiniyah hal. 157)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di awal pembicaraannya tentang kelompok Rafidlah ekstrim dan kelompok ekstrim lainnya (yang ekstrim, ed.) terhadap Ali radliallahu ‘anhu, seperti Nushairiyah dan Ismailiyah, "Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang mereka berada dikerak neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih keras kekafirannya dari orang kafir, maka dia tidak boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan jizyah (pajak atau denda) dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad, bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat jahat."

Beliau berkata tentang kelompok Nushairiyah, "Para ulama Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menikahi mereka, dan tidak boleh seorang lelaki menikahkan para mawla-nya (baca: budaknya, ed.) (yang wanita) dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka."

Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah dengan pria musyrik yang sama saja apakah dia seorang mubtadi’ atau selainnya, maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan ijma’ umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman." (Al-Baqarah: 221)

Juga firman Allah: "Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." (Al-Mumtahanah: 10)

Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia (sang pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki kitab. Di atas itu terjadilah ijma’ umat ini, sebagaimana yang dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, "Dan umat ini telah ijma’ bahwa seorang pria musyrik tidak boleh menikahi seorang wanita mukminah sama sekali, karena itu akan menimbulkan kerendahan Islam." (Tafsir Al-Qurthubi 3/72)



Popular Posts