"YAYASAN ALKAUTSAR"

LEMBAGA SOSIAL DAN DAKWAH ISLAM JAKARTA - INDONESIA

AJAKAN UNTUK MENIKAH

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang engkau senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. " (An Nisa' 3)

Allah juga berfirman:

"Mereka itu merupakan pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. " (Al Baqarah 187)

Kedua ayat ini mengisyaratkan akan adanya kewajiban untuk me­laksanakan pernikahan. Akan tetapi, masih ada sekelompok orang yang menghina dan melecehkan suatu pernikahan atau pura-pura menyesalinya. Bahkan ada juga di antara mereka yang sengaja menghabiskan hari-harinya dengan bercengkrama (ngobrol) bersama teman-teman begadangnya. Se­sungguhnya perbuatan tersebut hanyalah akan membawa mereka semakin jauh dari jalan Allah dan mencemarkan kesucian atas perkara yang agung ini, dimana suatu pernikahan itu sudah ditetapkan hukumnya oleh syari'at Allah di dalam kitab suci-Nya (tepatnya mengenai kehidupan suami-isteri).Imam Ath Thabari menafsirkan firman Allah yang berbunyi "Hunna Libaasun Lakum ", yaitu bahwa salah seorang dari mereka itu harus menjadikan pasangannya sebagai pakaian, baik pada saat menjelang tidur, saat berkumpul bersama keluarga atau pada saat bersatu (bersenggama) dengan pasangannya, sebagaimana pakaian yang dikenakannya.
Dikatakan juga, bahwa salah seorang dari keduanya menjadi pakaian bagi pasangannya, sebagaimana firman Allah yang artinya: "Dan Dia (Allah) telah menjadikan malam sebagai pakaian bagimu." Yaitu, sebagai tempat beristirahat atau tempat bernaung. Begitu juga bagi sang isteri, menjadi pakaian bagi sang suami dan ada kecenderungan sang suami kepadanya, sebagaimana firman Allah yang artinya: "Dan Dia jadikan isteri agar ia senang kepadanya." Yaitu, salah seorang dari keduanya menjadi pakaian bagi lainnya atau tempat berlindung.

Adapun penafsiran yang dikemukakan oleh Al Ustadz Muhammad Qutb akan ayat ini adalah: "Gambaran yang diberikan Al Qur'an tentang hubungan antara suami dan isteri begitu halus dan indah."

Sebagaimana firman-Nya: "Hunna Libaasun Lakum, wa Antum Libaasun Lahunna. " Pada kalimat ini digambarkan, bahwa hubungan antara jasad dan jiwa itu sangatlah erat. Baju merupakan kebutuhan yang penting bagi manusia se-bagai pelindung bagi tubuh dari gangguan cuaca, sekaligus sebagai tabir penutup aurat.

Dalam hal ini terdapat sesuatu yang akan mampu melekatkan antara seorang suami dengan isterinya, yang mana keduanya akan saling berjumpa kalau memang sama-sama berasal dari satu jasad dan jiwa. Pada saatnya nanti, keduanya akan bersatu serta menghendaki akan keutuhan jalinan tersebut, bagaikan baju dengan pemakainya. Keduanya bagaikan tabir yang akan menutupi satu dengan lainnya. Menurut pandangan jasadi, maka ke­duanya akan saling menutupi dan menjaga, menjadi pelindung ruh dan jiwa serta saling menjaga kehormatan masing-masing, menjaga harta, jiwa dan keselamatan masing-masing dari gangguan orang lain. Juga menjaga dari perbuatan keji dan hina layaknya sebuah pakaian yang menjaga tuannya dari gangguan cuaca dingin dan panas.

Keduanya laksana pakaian yang serasi, yang dipakai untuk beristirahat, sebagai pendorong semangat dalam bekerja serta berusaha agar selalu tampak baik dan indah di mata pasangannya serta pandangan orang lain. Jika memang hubungan mereka itu keutuhannya terjaga, maka keduanya akan bersatu menjadi pakaian yang berfungsi untuk melindungi antara satu dengan lainnya. Juga akan berusaha untuk bersolek dan menyempurnakan penampilan yang melekat padanya sebagai pelindung, sekaligus tabir pe­nutup (Manusia antara Materi dan Islam, hal. 249).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya ia telah me­nyempurnakan setengah dari agamanya. Oleh karena itu, bertaqwalah kepada Allah untuk menyempurnakan sebagian yang lainnya." (HR. Baihaqi dengan sanad hasan)

Setengah dari (kesempurnaan) agama dimaksud, ditetapkan oleh per­nikahan dan adanya anjuran agar memilih isteri yang baik serta meneliti hal-hal lain yang urgen. Untuk mengambil keputusan dalam suatu perkara, maka dianjurkan bagi umat Islam agar melakukan shalat istikhara sebanyak dua raka'at, kemudian membaca do'a sesudahnya. Seperti apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai berikut:

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu pilihan dengan pengetahuan-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kuasa-Mu dan memohon segala karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa, sedangkan aku tidak. Engkau Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak dan Engkau Maha Tahu akan hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika memang Engkau telah me­ngetahui bahwa perkara ini baik bagiku, agamaku, hidupku dan segala akibat yang ditimbulkannya, maka putuskanlah perkaraku ini atau Engkau tangguhkan. Atau putuskanlah untukku dan mudahkanlah, kemudian berkahilah aku. Sedang apabila menurut-Mu perkara ini berakibat buruk bagi­ku, agamaku, hidupku dan akibatnya, maka jauhkanlah dariku dan putus­kanlah bagiku kebaikan sekiranya hal itu belum direlakan."

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita (isteri) yang shalihah." (HR. Muslim)

Di dalam kitab yang berjudul "Nahnul Ma'muruun" diceritakan, bahwa sesungguhnya pernikahan itu merupakan perkara yang sangat penting (utama) yang dapat memanjangkan usia dan membawa kita kepada kehidupan yang teratur.

Terkadang kehidupan pernikahan itu bercampur dengan sesuatu yang meletihkan, seperti kelelahan yang didatangkan karena telah memiliki anak atau tuntutan kebutuhan lainnya seperti perabotan rumah. Akan tetapi, semuanya itu akan terasa indah jika seseorang merasa ikhlas dan terpuaskan jiwanya. Pada sisi lain, seseorang yang masih bujang akan merasakan kehampaan (kekurangan) di dalam hidupnya.

Memang benar apa yang pernah dikatakan oleh seseorang, bahwa terkadang masa muda bagaikan seorang raja. Akan tetapi, akan menjadi seorang hamba yang patut untuk dikasihani ketika usianya telah beranjak tua dan masih sendiri. Sedangkan bagi orang yang telah menikah --pasangan suami isteri-- terkadang pada masa-masa awal pernikahannya menjadi budak, akan tetapi ketika usia pernikahannya bertambah tua menjadi seorang raja yang bertahtakan segalanya didalam rumah serta tidak akan pernah lagi merasakan kesedihan dan kesepian seperti apa yang dirasakan oleh mereka yang masih sendiri pada masa tuanya (belum menikah).

Dr. Haflbert, seorang Direktur rumah sakit psikiater di New York berkata: "Bahwa jumlah pasien yang akan datang untuk berobat ke rumah sakit ini perbandingannya adalah empat (para lajang) dan satu (pasangan yang telah menikah)." Demikian pula dengan data hasil penelitian statistik yang dilakukan oleh Dr. Barchlun menunjukkan, bahwa peristiwa bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh para lajang daripada yang di lakukan oleh para pasangan yang telah menikah. Karena, para pasangan yang telah menikah lebih banyak mengutamakan pertimbangan akal dan etika di dalam mengambil keputusan.

Kehidupan mereka begitu damai, hingga segala keganjilan dan kegelapan hidup yang pernah ada tidak pernah mengusik pikiran mereka. Sementara hal itu tidak dapat dilakukan bagi orang yang belum menikah. Sungguh, seorang isteri yang terbiasa menghadapi segala keletihan, baik yang datangnya dari persoalan anak-anak, peranan sebagai ibu ataupun beban hidup yang lain justru akan memanjangkan usianya daripada mereka yang memutuskan diri untuk tidak menikah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Ada tiga golonganyang pasti ditolong oleh Allah. Yaitu, budak mukatab (seorang budak yang ingin memerdekakan diri dengan cara bekerjaJceras) yang ingin melunasi hutangnya, orang yang menikah demi menjaga diri dari perbuatan maksiat dan para pejuang di jalan Allah." (HR. Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Kebanyakan orang yang tidak mau menikah, sedang mereka mampu melakukannya, maka akan selalu berpikiran kotor dan berkeinginan untuk berbuat zina, yang merupakan salah satu faktor terputusnya (menjauhnya) hubungan antara manusia dengan Rabb-nya. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau menikah dan tetap bersiteguh dengan ajaran agamanya, maka masih terdapat kemungkinan baginya untuk terjerumus ke lembah yang nista. Ibnu Mas'ud berkata: "Sekalipun usiaku tersisa 10 hari, maka aku lebih suka menikah, agar diriku tidak membujang ketika bertemu Allah (meninggal dunia)."

Orang tua yang shalih akan selalu membicarakan persoalan pernikahan kepada anak-anaknya atau kerabatnya yang lain ketika salah seorang dari anaknya telah mencapai usia dewasa dan ada kemampuan untuk menikah serta mencarikan calon isteri/suami yang berasal dari keluarga baik-baik (shalih). Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian dan kemuliaan keluarga, terutama bagi pasangan suami-isteri yang akan menikah.

Alangkah agung nilai hadits ini yang telah menyamakan derajat antara pernikahan, berjuang di jalan Allah dan memerdekakan budak.

0 comments:

Popular Posts