"YAYASAN ALKAUTSAR"

LEMBAGA SOSIAL DAN DAKWAH ISLAM JAKARTA - INDONESIA

LARANGAN JANGAN BERSAING DALAM MEMINANG

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

"Janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. " (Al Baqarah 190)

Allah juga berfirman:

"Dan siapa saja yang menganiaya orang-orang mukmin dan mukminat tanpa adanya kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (Al Ahzab 58)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

Hendaknya salah seorang kamu tidak melamar wanita yang telah dilamar oleh saudaranya, sehingga saudaranya itu menikahi atau meninggalkannya." (HR. Nasa'i dalam Sunan an-Nasa 'i ash-Shughra)

Al Bahi Al Khauli didalam kitabnya yang berjudul "Al Mar-ah baina Al Bait wa Al Mujtami'" berpendapat, bahwa haram hukumnya melamar seorang wanita jika telah diketahui ada orang lain dari saudaranya sesama muslim yang telah terlebih dahulu melamar wanita tersebut. Karena, hal itu akan dapat memutuskan tali kekeluargaan dan melahirkan permusuhan serta penghinaan terhadap sesama. Bahkan hal tersebut menunjukkan akan kerendahan akhlaq dan rusaknya akal sehat.

Sebab, untuk dapat mengungguli saingannya, ia harus memuji dirinya sendiri dan menghina saingannya, sehingga ia mensifati dirinya dengan keistimewaan dan perasaan riya'. Apabila ia benar didalam mensifati dirinya, maka hal ini juga merupakan kekurangan akibat memuji diri sendiri. Juga pada saat mensifati saudaranya sesama muslim yang menjadi pesaingnya dengan sifat-sifat aib, walaupun hal itu benar adanya, maka sesungguhnya ia telah berbuat ghibah.

Jika pelamar pertama meninggalkan lamaranya, maka pelamar lain berhak mengajukan lamarannya. Begitu juga jika pelamar pertama adalah seorang fasik. Sebab, hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan wanita muslimah agar tidak jatuh dalam perlindungan (asuhan) orang yang tidak mempunyai semangat agama. Seorang muslim berhak memberikan pilihan dengan seorang yang dipandangnya lebih utama.

Dalam kitab "Jama' Al 'llmi ", karangan Imam Syafi'i yang ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, diriwayatkan, bahwa Fathimah binti Qais berkata; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: "Jika engkau telah lepas dari masa 'iddah, maka beritahu aku! Ketika ia (Fathimah) menyelesaikan masa 'iddahnya, maka ia memberi tahu Rasululullah bahwa Mu'awiyah dan Abu Jahm melamarnya. Maka Rasulullah berkata: Mu'awiyah itu adalah seorang yang fakir, tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang tidak bisa melepaskan tongkat dari pundaknya. Untuk itu, menikahlah dengan Usamah bin Zaid. Mendengar ucapan beliau tersebut, Fathimah bersikap dingin. Kemudian Rasulullah berkata kembali: Menikahlah dengan Usamah! Kemudian ia pun menikahinya. Lalu Allah menjadikan kebaikan pada diri Usamah dan berbahagialah mereka berdua" (HR. Imam Asy Syafi'i didalam risalah Al 'Umm. Juga oleh Imam Ahmad dan penulis kitab hadits yang enam, kecuali Bukhari).

TES KESEHATAN SEBELUM PERNIKAHAN DILANGSUNGKAN

Author
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jauhilah para penderita kusta, sebagaimana engkau menjauhi singa." (HR. Ahmad)

Beliau juga bersabda:

"Hendaknya bagi orang yang sedang menderita suatu penyakit tidak mengunjungi (mendatangi) orang yang sehat." (HR. Bukhari)

Kedua hadits tersebut mengisyaratkan agar bersikap waspada terhadap penyakit menular yang membahayakan. Saat ini, kebanyakan negara modern menetapkan peraturan wajib memeriksa kesehatan sebelum proses pernikahan dilangsungkan. Sedangkan Islam sudah sejak 14 abad yang lalu (lebih dahulu) menganjurkannya.

Sangat disayangkan bahwa tes kesehatan ini disepelekan oleh kebanyakan dokter dan ditinggalkan oleh kebanyakan pasangan suami isteri. Justru hal ini menyebabkan dampak negatif bagi kedua pasangan tersebut dan keturunannya nanti. Diantara petunjuk agama bagi setiap calon pasangan adalah tidak diperkenankan menikah jika salah satu dari pasangannya menderita penyakit menular, sebagaimana dipahami dari hadits sahih berikut ini:

"Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian sehingga mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."

Dr. Wajih Zainal Abidin dalam risalahnya yang berjudul "Al Islam wa At Tarbiyah Al Jinsiyah" berpendapat, bahwa hadits yang berbunyi "Laa Dharara walaa Dhirara " berarti menyelidiki dan menjauhkan bahaya dari wanita dan laki-laki yang shalih. Bahkan wajib kiranya — dalam undang-undang Islam — memeriksa calon suami isteri sebelum mereka melangsungkan pernikahan, khususnya untuk mengetahui tingkat kesuburan rahim wanita serta kesehatan dari sperma yang dimiliki oleh laki-laki. Begitu juga dengan memeriksa keduanya (laki-laki dan perempuan) dari penyakit menular yang membahayakan, impotensi, kemandulan dan kelainan psikis lainnya.

Sedangkan syarat terpenting bagi laki-laki untuk menikah adalah kemampuannya untuk memberikan hak bagi pasangannya didalam pernikahan, sebagaimana dipahami dari hadits berikut ini (yang artinya: "Barangsiapa telah memiliki kemampuan, maka menikahlah."

Kata "Al Ba 'ah" di sini berarti kemampuan menyediakan tempat tinggal dan segala keperluan menikah. Juga berarti kemampuan biologis (Lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat didalam kitab "Al Muhith ", karangan Fairus Abaya).


Pemeriksaan Golongan Darah Suami Isteri

Ada empat kemungkinan yang akan terjadi pada pasangan suami isteri jika ditinjau dari golongan darahnya:
  • Golongan darah keduanya positif.
  • Golongan darah keduanya negatif.
  • Golongan darah isteri positif, sedangkan golongan darah suami negatif. Tiga kemungkinan golongan darah ini kita anggap sejenis dan berkesesuaian.
  • Golongan darah isteri negatif, sedangkan golongan darah suami positif. Dalam keadaan ini, tidak ada persesuaian antara golongan darah suami maupun isteri. Namun, sangat langka (jarang ditemukan) kemungkinan yang terjadi bahwa anak akan mewarisi golongan darah bapaknya, yakni positif dan lahir dari ibu yang bergolongan darah negatif. Hal tersebut merupakan jenis-jenis yang berlawanan dalam darahnya, akibat ia mengandung janin yang bergolongan darah positif. Sang ibu akan menyempurnakan kelahiran pertama dengan sifat pembawaan dari anak pertama. Namun, pada kehamilan yang kedua dan seterusnya, janin terkadang cacat. Karena, mewarisi darah positif dari sang bapak dan dari jisim yang berlawanan, yakni tercipta dalam darah ibu yang negatif.
Menurut hemat penulis, komplikasi yang ada pada anak ketiga lebih banyak dari anak kedua. Sedangkan anak kedua juga lebih banyak dari yang pertama. Begitulah dampak bertambahnya hubungan jisim-jisim yang berlawanan pada setiap kehamilan. Akan tetapi, komplikasi semacam ini jarang terjadi. Karena hikmah Allah, bahwa darah janin tidak bercampur dengan darah ibu, kecuali dalam keadaan tertentu yang sangat jarang terjadi.

Kemungkinan terjadinya komplikasi ini tidak lebih dari 10%. Kalaulah terjadi, kita bisa melakukan operasi yang tidak terlalu sulit untuk merubah darah anak pada saat-saat pertama setelah kelahiran, seandainya dimungkinkan.


Pemeriksaan Jumlah Sel Sperma dan Selnya yang Hidup

Menurut ketentuan yang berlaku, jumlah sel sperma yang di miliki oleh laki-laki tidak kurang dari 4 Juta/mili dan ketika terjadi orgasme, sel-sel yang hidup berjumlah tidak kurang dari 65%. Apabila setelah diadakan pemeriksaan ternyata tidak sampai pada target, bahkan cenderung kurang sekali (mandul), maka dapat segera dilakukan pengobatan kedokteran (secara medis) untuk meningkatkan kualitas sel-sel sperma serta jumlahnya. Pengobatan semacam itu sudah banyak dan mudah ditemukan pada masa sekarang ini.


Pemeriksaan Kelenjar Prostat (Gondok)

Pemeriksaan kelenjar gondok dimaksud adalah untuk memastikan tidak adanya peradangan, baik pada diri calon suami maupun pada diri calon isteri. Karena, hal itu dapat menyebabkan menurunnya kasih sayang bagi suami/isteri.

KEWAJIBAN MELIHAT PELAMAR DAN YANG DILAMAR

Author
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Pernah aku bersama Nabi, lalu datanglah seorang laki-laki hendak memberitahukan kepada Nabi bahwa ia akan menikah dengan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Maka Nabi bertanya kepadanya: Sudahkah engkau melihatnya? Ia menjawab: Belum. Maka beliau berkata: Lihatlah! Karena, di mata kaum Anshar ada sesuatu." (HR. Muslim, Nasa'i dan Thabrani)

Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang kewajiban melihat pelamar dan yang dilamar, ada baiknya kita juga memperhatikan bahaya negatif yang banyak terjadi dikalangan keluarga muslim, yakni pergaulan yang di haramkan sebelum akad nikah dengan tujuan sebagai pengalaman dan percobaan. Karakter pergaulan semacam itu dapat kita jumpai pada kitab yang berjudul "Munkiraat AlIfraah ". Penulis menukil keterangan ini dari kitab tersebut.

Semoga peringatan ini menjadikan para orang tua lebih waspada dan berhati-hati terhadap peradaban yang menipu, yang sungguh tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Dengan menamakannya sebagai peradaban beserta taklid buta yang tidak sesuai dengan agama, juga akhlak kita, maka ketahuilah; bahwa pergaulan diantara dua calon pengantin dengan tujuan mencari pengalaman sebelum menikah adalah perbuatan yang sangat membahayakan.

Sementara dari pihak wali seolah melepaskan kendali pada individu yang belum mengenali seluk beluk kehidupan itu. Sehingga semakin sem-purna keburukan pergaulan itu tanpa adanya pengawasan dari rasa penye-salan, kerabat maupun terlepas dari kendali agama. Disanalah keduanya mendekati petaka dan menjadi santapan empuk bagi binatang buas (dalam hal ini nafsu syahwat) dengan mengatas namakan kebudayaan. Artinya, pihak terkait (wali) juga ikut berperan untuk menodai lembaran-lembaran bersih setiap harinya dengan pergaulan yang keji dan melanggar hak-hak wanita, sehingga menjadi kebiasaan yang tidak lagi dapat ditolelir.

Setelah puas ular mereguk aroma kenikmatan, tentulah ia akan merasa bosan. Karena, hal-hal yang dikuasai itu membosankan dan hal yang paling disenangi oleh manusia adalah hal-hal terlarang, maka ia pun meninggal-kan noda. Dengan tabi'at jahat yang ada dalam dirinya, maka ia berusaha untuk mencari mangsa baru. Dari sinilah meluas kenistaan dan rusaklah citra perkawinan. Hal tersebut menjadikan seorang pemuda tidak lagi ter-tarik pada ikatan perkawinan. Karena, ia bisa mendapatkan kebutuhan biologis tanpa harus menanggung beban-beban perkawinan.

Juga dari sinilah seorang pemuda berpaling menuju perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Hal ini dikarenakan kebudayaan semu yang membebani hidup mereka dan untuknya mereka dengan sukarela meninggalkan budaya, agama dan kehormatan. Sesungguhnya Islam memperingatkan dua orang yang bukan muhrim untuk tidak berkhalwat (berduaan ditempat yang sepi), karena syaitan bersama keduanya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Aku tidak meninggalkan —sesudahku— fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki, selain kaum perempuan (wanita)."

Islam memperbolehkan bagi peminang jika bersungguh-sungguh dan menyediakan segala sarana yang diperlukan untuk menikah dengan melihat wajah serta kedua telapak tangan, juga mengutus seseorang (perempuan lain) untuk mengetahui kepribadian dan akhlak wanita yang dipinang serta watak keturunannya. Karena, watak sang bapak biasanya menurun kepada anaknya.

Adapun jika hal-hal tersebut sampai pada taraf diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala, maka akan mendatangkan aib dan kerusakan. Manusia tidak akan menemui kebahagiaan, kecuali dengan menempuh jalan kembali kepada ketentuan yang diajarkan oleh syari'at dan membatasi pergaulan lawan jenis, yang masing-masing berbuat pada bidangnya tanpa melampaui batas.

Pengalaman empirik memberikan nasihat, bahwasanya seorang lelaki lebih merindukan dan mencintai wanita justru ketika wanita itu berada jauh darinya dan diasingkan dari pergaulan bebas serta terjaga —dengan memakai jilbab— dari pandangan jalang kaum lelaki.

Adapun alasan yang digunakan sebagai pendukung dari hadits Abu Hurairah diatas adalah hadits sahih berikut ini:

"Lihatlah perempuan yang hendak engkau pinang. Karena, hal itu dapat menjaga kerukunan diantara kalian berdua." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah dengan sanad sahih)

Maksudnya, dapat menjadikan pengikat atas cinta dan kasih sayang. Menurut Imam Ibnul Qayyim, bahwa yang dimaksud dengan makna kalimat "An Yu-dama Bainakuma" adalah cocok, sesuai atau serasi. Jika pertemuan keduanya sudah terwujud dan tidak ada keselarasan serta pertalian diantara keduanya, maka tidak akan kokohlah cinta. Bahkan mungkin tiada perasaan cinta sama sekali. Karena, keserasian diantara pasangan suami isteri itu adalah salah satu penyebab yang cukup kuat bagi terwujudnya cinta kasih.

Hal yang menyedihkan adalah banyaknya dari para wali yang memperkenankan peminang untuk melihat calon pasangannya hanya melalui foto yang pengambilan gambarnya justru dilakukan oleh ajnabi (orang yang bukan muhrim). Ini semua merupakan akibat dari meninggalkan sunnah Nabi dan berpegang pada tradisi yang salah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jika salah seorang diantara kalian melamar seorang wanita seraya mampu melihat hal-hal yang menggugah hati untuk segera menikahi wanita itu, maka laksanakanlah." (HR. Abu Dawud, Thahawi, Imam Ahmad didalam musnadnya, Ibnu Majah dan dinyatakan sebagai hadits sahih)

Dalam sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang lain dikemukakan:

"Jika salah seorang diantara kalian hendak melamar perempuan, maka diperbolehkan melihatnya —jika melihatnya hanya untuk meminangnya—, walaupun si wanita itu tidak mengetahuinya." (HR. Thahawi dan Ahmad didalam musnadnya dengan status sahih)

Sebagian sahabat memberlakukan hadits ini, yang diantaranya adalah Muhammad bin Musallamah Al Anshari. Sahl bin Abi Hatsmah berkata: "Aku melihat Muhammad bin Musallamah mengikuti Butsainah binti Dhahhak diatas tandu." Dengan penuh kehati-hatian aku bertanya: "Bagaimana engkau melakukan hal itu, sedangkan engkau adalah seorang sahabat Nabi?" Maka ia pun menjawab: "Aku pernah mendengar, bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Apabila terdetik dihati seorang laki-laki untuk melamar seorang perempuan, maka tiada salahnya untuk melihat perempuan dimaksud" (HR. Abu Hurairah, Thahawi dan Ahmad didalam musnadnya).

Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai batasan yang diperbolehkan untuk melihatnya. Sebagian madzhab membatasi pada wajah dan ke-dua telapak tangan, dimana batasan ini tidak ada hujjahnya dan mengesampingkan pemahaman sahabat.

Ada baiknya dalam kaitan ini penulis menyebutkan (untuk mengingat) perbuatan Nabi Sulaiman 'Alaihissalam ketika membangun istana dengan tujuan untuk melihat kedua betis dari Ratu Balgis. Sungguh Nabi Sulaiman 'Alaihissalam hendak menikahinya. Ketika Ratu Balqis melihat istana, ia mengira bahwa yang dilaluinya itu adalah kolam air, sehingga ia menyingkapkan kain yang ia kenakan dan terlihatlah kedua betisnya. Maka dilihatlah kedua betis Ratu Balgis oleh Nabi Sulaiman dan kemudian beliau menikahinya.

Di sini timbul pertanyaan, jika syar'i (pembuat hukum, Allah) men-tolelir kaum lelaki untuk melihat wanita sebelum menikah, apakah wali berhak memperlihatkan puterinya tanpa batasan hijab yang juga bersifat syar'i. Menurut hemat penulis, —Wallahu A'lam— boleh, selama pelamar melihat dalam batasan yang wajar, walaupun si wanita tidak mengetahuinya.

Ibnul Qayyim didalam kitabnya "Tahdzib As Sunan" Juz. III, hal. 25-26 menyebutkan: "Bahwa Abu Dawud memperbolehkan melihat seluruh tubuh wanita." Adapun menurut Imam Ahmad terdapat tiga riwayat. Pertama, boleh melihat hanya telapak tangan dan wajah. Kedua, melihat anggota tubuh yang biasa tampak seperti betis, lutut dan semisalnya. Ketiga, boleh melihat seluruh tubuhnya (dengan busana tentunya, Ed.).

Ibnu Qudamah dalam kitab "Al Mughni" Juz. VII, hal. 454 menyebutkan alasan diperbolehkannya melihat anggota badan yang biasa tampak. Yaitu, ketika Nabi memperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar (dipinang) tanpa sepengetahuannya. Berarti, beliau mengizinkan melihat anggota tubuh yang biasa tampak karena tidak mungkin memfokuskan pandangan pada wajah yang disertai dengan tampaknya anggota tubuh lainnya.

Sebagaimana diperbolehkan seorang lelaki melihat wanita yang akan dinikahinya, maka begitu juga hendaknya seorang wali melihat agama, akhlak dan keadaan lelaki yang meminang untuk kepentingan anaknya. Karena, sesudah menikah nanti, maka kebebasan anaknya akan dibatasi dengan sebab pernikahannya itu. Jika dinikahi oleh seorang suami yang fasiq atau penyebar (pembuat) fitnah, maka berarti sang wali telah mencelakai diri dan anaknya ("Minhaj Al Qashidin", hal. 71).

Popular Posts