"YAYASAN ALKAUTSAR"

LEMBAGA SOSIAL DAN DAKWAH ISLAM JAKARTA - INDONESIA

LARANGAN JANGAN BERSAING DALAM MEMINANG

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

"Janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. " (Al Baqarah 190)

Allah juga berfirman:

"Dan siapa saja yang menganiaya orang-orang mukmin dan mukminat tanpa adanya kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (Al Ahzab 58)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

Hendaknya salah seorang kamu tidak melamar wanita yang telah dilamar oleh saudaranya, sehingga saudaranya itu menikahi atau meninggalkannya." (HR. Nasa'i dalam Sunan an-Nasa 'i ash-Shughra)

Al Bahi Al Khauli didalam kitabnya yang berjudul "Al Mar-ah baina Al Bait wa Al Mujtami'" berpendapat, bahwa haram hukumnya melamar seorang wanita jika telah diketahui ada orang lain dari saudaranya sesama muslim yang telah terlebih dahulu melamar wanita tersebut. Karena, hal itu akan dapat memutuskan tali kekeluargaan dan melahirkan permusuhan serta penghinaan terhadap sesama. Bahkan hal tersebut menunjukkan akan kerendahan akhlaq dan rusaknya akal sehat.

Sebab, untuk dapat mengungguli saingannya, ia harus memuji dirinya sendiri dan menghina saingannya, sehingga ia mensifati dirinya dengan keistimewaan dan perasaan riya'. Apabila ia benar didalam mensifati dirinya, maka hal ini juga merupakan kekurangan akibat memuji diri sendiri. Juga pada saat mensifati saudaranya sesama muslim yang menjadi pesaingnya dengan sifat-sifat aib, walaupun hal itu benar adanya, maka sesungguhnya ia telah berbuat ghibah.

Jika pelamar pertama meninggalkan lamaranya, maka pelamar lain berhak mengajukan lamarannya. Begitu juga jika pelamar pertama adalah seorang fasik. Sebab, hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan wanita muslimah agar tidak jatuh dalam perlindungan (asuhan) orang yang tidak mempunyai semangat agama. Seorang muslim berhak memberikan pilihan dengan seorang yang dipandangnya lebih utama.

Dalam kitab "Jama' Al 'llmi ", karangan Imam Syafi'i yang ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, diriwayatkan, bahwa Fathimah binti Qais berkata; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: "Jika engkau telah lepas dari masa 'iddah, maka beritahu aku! Ketika ia (Fathimah) menyelesaikan masa 'iddahnya, maka ia memberi tahu Rasululullah bahwa Mu'awiyah dan Abu Jahm melamarnya. Maka Rasulullah berkata: Mu'awiyah itu adalah seorang yang fakir, tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang tidak bisa melepaskan tongkat dari pundaknya. Untuk itu, menikahlah dengan Usamah bin Zaid. Mendengar ucapan beliau tersebut, Fathimah bersikap dingin. Kemudian Rasulullah berkata kembali: Menikahlah dengan Usamah! Kemudian ia pun menikahinya. Lalu Allah menjadikan kebaikan pada diri Usamah dan berbahagialah mereka berdua" (HR. Imam Asy Syafi'i didalam risalah Al 'Umm. Juga oleh Imam Ahmad dan penulis kitab hadits yang enam, kecuali Bukhari).

TES KESEHATAN SEBELUM PERNIKAHAN DILANGSUNGKAN

Author
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jauhilah para penderita kusta, sebagaimana engkau menjauhi singa." (HR. Ahmad)

Beliau juga bersabda:

"Hendaknya bagi orang yang sedang menderita suatu penyakit tidak mengunjungi (mendatangi) orang yang sehat." (HR. Bukhari)

Kedua hadits tersebut mengisyaratkan agar bersikap waspada terhadap penyakit menular yang membahayakan. Saat ini, kebanyakan negara modern menetapkan peraturan wajib memeriksa kesehatan sebelum proses pernikahan dilangsungkan. Sedangkan Islam sudah sejak 14 abad yang lalu (lebih dahulu) menganjurkannya.

Sangat disayangkan bahwa tes kesehatan ini disepelekan oleh kebanyakan dokter dan ditinggalkan oleh kebanyakan pasangan suami isteri. Justru hal ini menyebabkan dampak negatif bagi kedua pasangan tersebut dan keturunannya nanti. Diantara petunjuk agama bagi setiap calon pasangan adalah tidak diperkenankan menikah jika salah satu dari pasangannya menderita penyakit menular, sebagaimana dipahami dari hadits sahih berikut ini:

"Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian sehingga mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."

Dr. Wajih Zainal Abidin dalam risalahnya yang berjudul "Al Islam wa At Tarbiyah Al Jinsiyah" berpendapat, bahwa hadits yang berbunyi "Laa Dharara walaa Dhirara " berarti menyelidiki dan menjauhkan bahaya dari wanita dan laki-laki yang shalih. Bahkan wajib kiranya — dalam undang-undang Islam — memeriksa calon suami isteri sebelum mereka melangsungkan pernikahan, khususnya untuk mengetahui tingkat kesuburan rahim wanita serta kesehatan dari sperma yang dimiliki oleh laki-laki. Begitu juga dengan memeriksa keduanya (laki-laki dan perempuan) dari penyakit menular yang membahayakan, impotensi, kemandulan dan kelainan psikis lainnya.

Sedangkan syarat terpenting bagi laki-laki untuk menikah adalah kemampuannya untuk memberikan hak bagi pasangannya didalam pernikahan, sebagaimana dipahami dari hadits berikut ini (yang artinya: "Barangsiapa telah memiliki kemampuan, maka menikahlah."

Kata "Al Ba 'ah" di sini berarti kemampuan menyediakan tempat tinggal dan segala keperluan menikah. Juga berarti kemampuan biologis (Lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat didalam kitab "Al Muhith ", karangan Fairus Abaya).


Pemeriksaan Golongan Darah Suami Isteri

Ada empat kemungkinan yang akan terjadi pada pasangan suami isteri jika ditinjau dari golongan darahnya:
  • Golongan darah keduanya positif.
  • Golongan darah keduanya negatif.
  • Golongan darah isteri positif, sedangkan golongan darah suami negatif. Tiga kemungkinan golongan darah ini kita anggap sejenis dan berkesesuaian.
  • Golongan darah isteri negatif, sedangkan golongan darah suami positif. Dalam keadaan ini, tidak ada persesuaian antara golongan darah suami maupun isteri. Namun, sangat langka (jarang ditemukan) kemungkinan yang terjadi bahwa anak akan mewarisi golongan darah bapaknya, yakni positif dan lahir dari ibu yang bergolongan darah negatif. Hal tersebut merupakan jenis-jenis yang berlawanan dalam darahnya, akibat ia mengandung janin yang bergolongan darah positif. Sang ibu akan menyempurnakan kelahiran pertama dengan sifat pembawaan dari anak pertama. Namun, pada kehamilan yang kedua dan seterusnya, janin terkadang cacat. Karena, mewarisi darah positif dari sang bapak dan dari jisim yang berlawanan, yakni tercipta dalam darah ibu yang negatif.
Menurut hemat penulis, komplikasi yang ada pada anak ketiga lebih banyak dari anak kedua. Sedangkan anak kedua juga lebih banyak dari yang pertama. Begitulah dampak bertambahnya hubungan jisim-jisim yang berlawanan pada setiap kehamilan. Akan tetapi, komplikasi semacam ini jarang terjadi. Karena hikmah Allah, bahwa darah janin tidak bercampur dengan darah ibu, kecuali dalam keadaan tertentu yang sangat jarang terjadi.

Kemungkinan terjadinya komplikasi ini tidak lebih dari 10%. Kalaulah terjadi, kita bisa melakukan operasi yang tidak terlalu sulit untuk merubah darah anak pada saat-saat pertama setelah kelahiran, seandainya dimungkinkan.


Pemeriksaan Jumlah Sel Sperma dan Selnya yang Hidup

Menurut ketentuan yang berlaku, jumlah sel sperma yang di miliki oleh laki-laki tidak kurang dari 4 Juta/mili dan ketika terjadi orgasme, sel-sel yang hidup berjumlah tidak kurang dari 65%. Apabila setelah diadakan pemeriksaan ternyata tidak sampai pada target, bahkan cenderung kurang sekali (mandul), maka dapat segera dilakukan pengobatan kedokteran (secara medis) untuk meningkatkan kualitas sel-sel sperma serta jumlahnya. Pengobatan semacam itu sudah banyak dan mudah ditemukan pada masa sekarang ini.


Pemeriksaan Kelenjar Prostat (Gondok)

Pemeriksaan kelenjar gondok dimaksud adalah untuk memastikan tidak adanya peradangan, baik pada diri calon suami maupun pada diri calon isteri. Karena, hal itu dapat menyebabkan menurunnya kasih sayang bagi suami/isteri.

KEWAJIBAN MELIHAT PELAMAR DAN YANG DILAMAR

Author
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Pernah aku bersama Nabi, lalu datanglah seorang laki-laki hendak memberitahukan kepada Nabi bahwa ia akan menikah dengan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Maka Nabi bertanya kepadanya: Sudahkah engkau melihatnya? Ia menjawab: Belum. Maka beliau berkata: Lihatlah! Karena, di mata kaum Anshar ada sesuatu." (HR. Muslim, Nasa'i dan Thabrani)

Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang kewajiban melihat pelamar dan yang dilamar, ada baiknya kita juga memperhatikan bahaya negatif yang banyak terjadi dikalangan keluarga muslim, yakni pergaulan yang di haramkan sebelum akad nikah dengan tujuan sebagai pengalaman dan percobaan. Karakter pergaulan semacam itu dapat kita jumpai pada kitab yang berjudul "Munkiraat AlIfraah ". Penulis menukil keterangan ini dari kitab tersebut.

Semoga peringatan ini menjadikan para orang tua lebih waspada dan berhati-hati terhadap peradaban yang menipu, yang sungguh tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Dengan menamakannya sebagai peradaban beserta taklid buta yang tidak sesuai dengan agama, juga akhlak kita, maka ketahuilah; bahwa pergaulan diantara dua calon pengantin dengan tujuan mencari pengalaman sebelum menikah adalah perbuatan yang sangat membahayakan.

Sementara dari pihak wali seolah melepaskan kendali pada individu yang belum mengenali seluk beluk kehidupan itu. Sehingga semakin sem-purna keburukan pergaulan itu tanpa adanya pengawasan dari rasa penye-salan, kerabat maupun terlepas dari kendali agama. Disanalah keduanya mendekati petaka dan menjadi santapan empuk bagi binatang buas (dalam hal ini nafsu syahwat) dengan mengatas namakan kebudayaan. Artinya, pihak terkait (wali) juga ikut berperan untuk menodai lembaran-lembaran bersih setiap harinya dengan pergaulan yang keji dan melanggar hak-hak wanita, sehingga menjadi kebiasaan yang tidak lagi dapat ditolelir.

Setelah puas ular mereguk aroma kenikmatan, tentulah ia akan merasa bosan. Karena, hal-hal yang dikuasai itu membosankan dan hal yang paling disenangi oleh manusia adalah hal-hal terlarang, maka ia pun meninggal-kan noda. Dengan tabi'at jahat yang ada dalam dirinya, maka ia berusaha untuk mencari mangsa baru. Dari sinilah meluas kenistaan dan rusaklah citra perkawinan. Hal tersebut menjadikan seorang pemuda tidak lagi ter-tarik pada ikatan perkawinan. Karena, ia bisa mendapatkan kebutuhan biologis tanpa harus menanggung beban-beban perkawinan.

Juga dari sinilah seorang pemuda berpaling menuju perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Hal ini dikarenakan kebudayaan semu yang membebani hidup mereka dan untuknya mereka dengan sukarela meninggalkan budaya, agama dan kehormatan. Sesungguhnya Islam memperingatkan dua orang yang bukan muhrim untuk tidak berkhalwat (berduaan ditempat yang sepi), karena syaitan bersama keduanya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Aku tidak meninggalkan —sesudahku— fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki, selain kaum perempuan (wanita)."

Islam memperbolehkan bagi peminang jika bersungguh-sungguh dan menyediakan segala sarana yang diperlukan untuk menikah dengan melihat wajah serta kedua telapak tangan, juga mengutus seseorang (perempuan lain) untuk mengetahui kepribadian dan akhlak wanita yang dipinang serta watak keturunannya. Karena, watak sang bapak biasanya menurun kepada anaknya.

Adapun jika hal-hal tersebut sampai pada taraf diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala, maka akan mendatangkan aib dan kerusakan. Manusia tidak akan menemui kebahagiaan, kecuali dengan menempuh jalan kembali kepada ketentuan yang diajarkan oleh syari'at dan membatasi pergaulan lawan jenis, yang masing-masing berbuat pada bidangnya tanpa melampaui batas.

Pengalaman empirik memberikan nasihat, bahwasanya seorang lelaki lebih merindukan dan mencintai wanita justru ketika wanita itu berada jauh darinya dan diasingkan dari pergaulan bebas serta terjaga —dengan memakai jilbab— dari pandangan jalang kaum lelaki.

Adapun alasan yang digunakan sebagai pendukung dari hadits Abu Hurairah diatas adalah hadits sahih berikut ini:

"Lihatlah perempuan yang hendak engkau pinang. Karena, hal itu dapat menjaga kerukunan diantara kalian berdua." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah dengan sanad sahih)

Maksudnya, dapat menjadikan pengikat atas cinta dan kasih sayang. Menurut Imam Ibnul Qayyim, bahwa yang dimaksud dengan makna kalimat "An Yu-dama Bainakuma" adalah cocok, sesuai atau serasi. Jika pertemuan keduanya sudah terwujud dan tidak ada keselarasan serta pertalian diantara keduanya, maka tidak akan kokohlah cinta. Bahkan mungkin tiada perasaan cinta sama sekali. Karena, keserasian diantara pasangan suami isteri itu adalah salah satu penyebab yang cukup kuat bagi terwujudnya cinta kasih.

Hal yang menyedihkan adalah banyaknya dari para wali yang memperkenankan peminang untuk melihat calon pasangannya hanya melalui foto yang pengambilan gambarnya justru dilakukan oleh ajnabi (orang yang bukan muhrim). Ini semua merupakan akibat dari meninggalkan sunnah Nabi dan berpegang pada tradisi yang salah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jika salah seorang diantara kalian melamar seorang wanita seraya mampu melihat hal-hal yang menggugah hati untuk segera menikahi wanita itu, maka laksanakanlah." (HR. Abu Dawud, Thahawi, Imam Ahmad didalam musnadnya, Ibnu Majah dan dinyatakan sebagai hadits sahih)

Dalam sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang lain dikemukakan:

"Jika salah seorang diantara kalian hendak melamar perempuan, maka diperbolehkan melihatnya —jika melihatnya hanya untuk meminangnya—, walaupun si wanita itu tidak mengetahuinya." (HR. Thahawi dan Ahmad didalam musnadnya dengan status sahih)

Sebagian sahabat memberlakukan hadits ini, yang diantaranya adalah Muhammad bin Musallamah Al Anshari. Sahl bin Abi Hatsmah berkata: "Aku melihat Muhammad bin Musallamah mengikuti Butsainah binti Dhahhak diatas tandu." Dengan penuh kehati-hatian aku bertanya: "Bagaimana engkau melakukan hal itu, sedangkan engkau adalah seorang sahabat Nabi?" Maka ia pun menjawab: "Aku pernah mendengar, bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Apabila terdetik dihati seorang laki-laki untuk melamar seorang perempuan, maka tiada salahnya untuk melihat perempuan dimaksud" (HR. Abu Hurairah, Thahawi dan Ahmad didalam musnadnya).

Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai batasan yang diperbolehkan untuk melihatnya. Sebagian madzhab membatasi pada wajah dan ke-dua telapak tangan, dimana batasan ini tidak ada hujjahnya dan mengesampingkan pemahaman sahabat.

Ada baiknya dalam kaitan ini penulis menyebutkan (untuk mengingat) perbuatan Nabi Sulaiman 'Alaihissalam ketika membangun istana dengan tujuan untuk melihat kedua betis dari Ratu Balgis. Sungguh Nabi Sulaiman 'Alaihissalam hendak menikahinya. Ketika Ratu Balqis melihat istana, ia mengira bahwa yang dilaluinya itu adalah kolam air, sehingga ia menyingkapkan kain yang ia kenakan dan terlihatlah kedua betisnya. Maka dilihatlah kedua betis Ratu Balgis oleh Nabi Sulaiman dan kemudian beliau menikahinya.

Di sini timbul pertanyaan, jika syar'i (pembuat hukum, Allah) men-tolelir kaum lelaki untuk melihat wanita sebelum menikah, apakah wali berhak memperlihatkan puterinya tanpa batasan hijab yang juga bersifat syar'i. Menurut hemat penulis, —Wallahu A'lam— boleh, selama pelamar melihat dalam batasan yang wajar, walaupun si wanita tidak mengetahuinya.

Ibnul Qayyim didalam kitabnya "Tahdzib As Sunan" Juz. III, hal. 25-26 menyebutkan: "Bahwa Abu Dawud memperbolehkan melihat seluruh tubuh wanita." Adapun menurut Imam Ahmad terdapat tiga riwayat. Pertama, boleh melihat hanya telapak tangan dan wajah. Kedua, melihat anggota tubuh yang biasa tampak seperti betis, lutut dan semisalnya. Ketiga, boleh melihat seluruh tubuhnya (dengan busana tentunya, Ed.).

Ibnu Qudamah dalam kitab "Al Mughni" Juz. VII, hal. 454 menyebutkan alasan diperbolehkannya melihat anggota badan yang biasa tampak. Yaitu, ketika Nabi memperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar (dipinang) tanpa sepengetahuannya. Berarti, beliau mengizinkan melihat anggota tubuh yang biasa tampak karena tidak mungkin memfokuskan pandangan pada wajah yang disertai dengan tampaknya anggota tubuh lainnya.

Sebagaimana diperbolehkan seorang lelaki melihat wanita yang akan dinikahinya, maka begitu juga hendaknya seorang wali melihat agama, akhlak dan keadaan lelaki yang meminang untuk kepentingan anaknya. Karena, sesudah menikah nanti, maka kebebasan anaknya akan dibatasi dengan sebab pernikahannya itu. Jika dinikahi oleh seorang suami yang fasiq atau penyebar (pembuat) fitnah, maka berarti sang wali telah mencelakai diri dan anaknya ("Minhaj Al Qashidin", hal. 71).

MEWASPADAI HAL-HAL ZHAHIR YANG MENIPU

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Seolah-olah mereka laksana kayu yang tersandar. " (Al-Munafiqun: 4)

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

"Ada seorang laki-Iaki mendatangi Nabi. Lalu beliau berkata kepada para sahabat: Apa pendapat kalian tentang lelaki ini? Para sahabat menjawab: Ia lelaki merdeka yang jika meminang, maka pinangannya tidak akan ditolak dan jika memberi pertolongan, maka sudah selayaknya ia melakukan hal itu dan jika berkata, maka apa yang dikatakannya sudah pasti akan didengar. Kemudian Nabi terdiam. Lalu datanglah seorang kerabat dari golongan fuqara dan Nabi pun bertanya kembali (kepada para sahabat): Apa pendapat kalian tentang lelaki ini? Lalu para sahabat menjawab: Ia lelaki merdeka yang jika meminang, maka pinangannya belum tentu akan diterima, jika memberi pertolongan, maka sesungguhnya ia tidaklah pantas memberi pertolongan dan jika berbicara, tidak akan didengar. Maka Rasul bersabda: Lelaki ini lebih baik dari seluruh bumi dan isinya." (HR. Bukhari)

WANITA YANG MENGAWINI PRIA YANG PEZINA ADALAH PEZINA

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawinkan melainkan dengan laki-laki yang berzina atau lakilaki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. " (An Nuur 3)
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa akad nikah tidaklah sah apabila (akad tersebut) datang dari laki-laki yang baik untuk perempuan pelacur, selama perempuan tersebut belum bertaubat. Akan tetapi, akad nikahnya menjadi sah jika ia telah bertaubat. Demikian pula pernikahan perempuan baik-baik dengan laki-laki lacur tidaklah sah, kecuali ia (lakilaki) telah bertaubat. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada penghujung ayat dari firman Allah di dalam surat An-Nuur tersebut di atas.

Imam Ibnu Katsir berpendapat, bahwa haram hukumnya menikah dengan pelacur atau menikahkan wanita baik-baik dengan laki-laki lacur (fajir).

Yang sangat disesalkan dari kebanyakan keluarga Muslim, dimana mereka jarang sekali mengambil atau menjadikannya sebagai suatu pelajaran atau peringatan yang sangat berharga. Apabila diperingatkan bahwa calon menantunya adalah pezina, dengan geram sang kerabat yang dilamar pun membantah seraya mengatakan: "Daun sebuah pohon tidak akan bergoyang kecuali ditiup oleh angin yang menggoyangnya." Demikian pula jika diberitahukan bahwa sang calon menantu tidak pernah shalat atau senang meminum minuman keras, maka mereka pun menjawab: "Ia tidak tahu akan hal itu karena masih muda dan Allah akan menghapuskan kesalahannya." Apabila dikatakan bahwa sang calon, akhlaq dan aqidahnya jelek, maka mereka pun tidak akan mempedulikannya. Namun, apabila dikatakan bahwa ia (calon menantu) sangat sederhana, maka dengan spontan mereka menolak, sekalipun sifat dan perilakunya baik serta berasal dari keturunan yang baik pula.

Celaka! Sungguh celaka bagi wanita muslimah yang memiliki suami seperti itu. Sebab, masa depannya terancam dan kehidupan suami-isteri pun dihadapkan pada suatu kerusakan yang menanti. Adapun fitnah yang akan melanda terhadap isteri yang dinikahi oleh seorang pezina adalah berupa kerusakan moral serta agama dan kehidupannya akan merugi serta celaka.

Abu Nu'aim menceritakan ketika Abu Thalhah melamar Ummu Salim, dimana sebelum Ummu Salim menerima lamarannya, ia berkata: "Sebetulnya aku senang kepadamu, tapi sayang kamu orang kafir sedangkan aku wanita muslimah. Pernikahanku denganmu tidak akan sah." Abu Thalhah pun bertanya: "Apa kebijaksanaanmu wahai Romso (nama sindiran?" Ummu Salim menegaskan: "Apa kebijaksanaanku?" Abu Thalhah melanjutkan: "Mana yang kamu pilih, kuning atau putih (bujukan dengan emas dan perak)?" Ummu Salim menjawab: "Aku tidak akan memilih baik kuning ataupun putih. Sesungguhnya engkau telah menyembah dzat yang tidak bisa mendengar, melihat dan tidak akan menjadikan kamu seorang yang kaya. Apa tidak malu menyembah pohon kayu, yang mana kayu tersebut dijadikan sebagai penghangat (api unggun) oleh suatu kelompok? Jika engkau masuk Islam, maka itu adalah sebagai mahar dari perkawinanku denganmu. Aku tidak menginginkan mas kawin selain daripada itu." Lalu Abu Thalhah bertanya: "Kepada siapa aku mengislamkan diriku wahai Romso (Ummu Salim)?" Ummu Salim menjawab: "Kepada Rasulullah." Maka Abu Talhah pun pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan ia pun menyatakan diri masuk Islam.

LIKU-LIKU PERKAWINAN

Author
MEMILIH PASANGAN HIDUP YANG SHALIH / SHALIHAH

Tergesa-gesa di dalam menentukan pasangan hidup tanpa meneliti terlebih dahulu, merapakan problema yang akan berakibat kepada bencana. Berapa banyak pemuda pemudi yang hanya memperhatikan masalah materi saja, terjebak ke dalam berbagai masalah dan pada akhirnya menjadikan penyesalan.

Di Barat, pada salah satu dari universitas yang cukup dikenal, ada yang khusus memberikan program tentang pengobatan masalah-masalah kejiwaan. Dengan itu, pemuda pemudi disana dapat mengambil hikmah, khususnya yang berkenaan dengan pasangan hidup, agar tidak gegabah dan tergesa-gesa di dalam menentukan pasangan hidupnya.

Seandainya universitas yang terdapat di negeri ini menetapkan metode tersebut untuk menyelamatkan para pemuda/i, niscaya akan sangat membantu mereka dalam meredam gejolak kerusakan moral. Islam sangat menekankan perhatian di dalam masalah pasangan ini. Karenanya, Islam sangat menganjurkan bagi umatnya agar meneliti calon pasangannya terlebih dahulu dari berbagai segi. Baik dari akhlaq, agama maupun perilaku kesehariannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat Al Qur'an dan hadits berikut ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu serta orang-orang yang layak (untuk menikah, kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki maupun hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (An Nuur 32)

Ayat ini mensyaratkan adanya persesuaian (keserasian) di dalam perkawinan, dimana kesemuanya itu dimaksudkan untuk tujuan bagi kemaslahatan. Yaitu agama, budi pekerti dan mampu untuk menikah. Karena Allah telah menentukan, bahwasanya akan ada orang yang berusaha untuk menanyakan tentang status sosial di dalam sebuah perkawinan. Perkataan siapakah yang lebih benar dibandingkan dengan firman Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian pada ayat tersebut adalah berpegang teguh kepada agama dan ajarannya. Adapun yang menjadi pokok adalah ilmu. Karena, ilmu merupakan khasanah yang tidak terbatas. Sementara yang dimaksud dengan ilmu disini adalah mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta mengamalkan apa yang terkandung di dalam kedua-nya di kehidupan sehari-hari.

Adapun keturunan serta harta yang serasi bukanlah menjadi ukuran dalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan di dalam sebuah riwayat, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menikah-kan sepupunya dengan Zaid bin Haritsah. Disamping itu, Abdurrahman juga pernah menikahkan saudara perempuannya dengan Bilal Al Habasyi dan Abu Hudzaifah juga menikahkan Salim dengan Hindun binti 'Utbah bin Rabi'ah, sedangkan Hindun pada saat itu merupakan pemimpin wanita dari kaum Anshar.

Ibnu Abi Malikah berkata, yang dinukil dari kitab "AdDiin Al Khaalish ", hal. 428, jilid 4 mengenai adzan di atas Ka'bah pada hari kemenangan kota Makkah. Sebagian dari penduduk Makkah pada saat itu berkomentar: "Apakah hari ini hari raya, hingga harus adzan diatas ka'bah?" Adapun sebagian yang lain berkomentar: "Sesungguhnya Allah murka dengan apa yang terjadi pada hari ini." Maka turunlah firman Allah yang berbunyi:

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa di antara kamu." (Al Hujurat 13)


Diriwayatkan oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Baihaqi di dalam kitab "AdDalaail".

Diriwayatkan dari Az Zuhri, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Kfl Sallam memerintahkan Bani Bayadah supaya menikahkan wanita dari golongan mereka dengan Abu Hindun. Mereka menjawab: "Apakah kami harus menikahkan anak-anak perempuan kami kepada pemimpin kami, wahai Rasulullah? Maka turunlah ayat tersebut." Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitabnya "Al Maraasil", Ibnu Marduwiyah dan Baihaqi di dalam kitab sunannya.

Imam Az Zuhri berpendapat, bahwa ayat tersebut turun bagi Abu Hindun saja. Sedangkan menumt riwayat yang datang dari Umar bin Khaththab, bahwasanya ayat ini turun di Makkah dan ditujukan khusus bagi orangorang Arab secara keseluruhan.

Sebagian orang ada yang menanyakan: "Bagaimana pernikahan bisa harmonis antara orang yang kaya dan wanita yang miskin atau sebaliknya. Sedangkan mereka sangat berbeda dalam kebiasaan yang akhirnya membedakan mereka dari segi tabi'at dan bisa menjadikan perceraian di antara rnereka." Penulis menjawab: "Sesungguhnya Islam menyatukan suami-lsteri itu baik dari segi tradisi maupun kesenangan, sehingga mereka men-jadi satu rangkaian yang tak terpisahkan, selama perintah dan larangan agama masih berkaitan dengan mereka berdua. Dengan adanya sebab inilah perbedaan serta perselisihan di antara mereka bisa diredam, sekalipun per-bedaan dimaksud adalah antara si kaya dan si miskin. Sehingga apa yang telah menjadi kemufakatan bersama, baik dalam pengertian maupun per-hatian menjadi sempurna.

Salah seorang cendekiawan dari Barat mengatakan: "Bahwasanya orang Islam yang berasal dari negara Hindustan hidup bertetangga dan berdampingan dengan orang Arab, tanpa harus memandang adanya perbedaan di antara keduanya. Semua itu berdasarkan pada apabila kedua dari penganut agama Islam itu selalu berpegang teguh dengan apa yang diyakininya. Yang karenanya akan menjadikan mereka berkerabat dalam satu perjanjian dan menyatukan mereka dalam satu rangkaian serta terhindar dari per-selisihan (perbedaan)." Contoh seperti ini saat sekarang telah banyak hilang dari benak kaum muslimin, disebabkan mereka telah menjauh dari tradisi Islam dan mereka mengikuti gaya hidup orang-orang yang tidak bermoral. Sehingga mereka cenderung untuk hidup di bawah belas kasihan orangorang yang lebih kaya dari mereka.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

"Apabila seseorang yang agama dan akhlaknya baik melamar kepadamu, maka hendaknya kamu nikahkan ia dengan anakmu. Jika kamu tidak melaksanakannya, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan bencana yang meluas." (HR. Tirmidzi dengan sanad sahih)

Perintah yang dimaksud oleh hadits di atas adalah, seandainya tidak ada perkawinan setelah terjadinya lamaran tersebut, maka akan merebaklah suatu bencana berupa kerusakan serta kebejatan akhlak. Sebab itulah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda yang artinya: "Jika kalian tidak segera melakukan pernikahan setelah adanya lamaran, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di atas bumi ini."

Sebab, kebanyakan manusia selama tidak melakukan pernikahan, maka tidak akan selamat dari godaan serta bahaya, kecuali dengan taqwa, menjaga pandangan serta keteguhan jiwa. Hanya dengan cara inilah segala macam godaan syaitan bisa ditepis. Sebab, tanpa adanya pernikahan, maka akan cenderung untuk menimbulkan adanya gejolak dalam hati, sedangkan hati merupakan rnodal utama untuk menunjukkan seseorang ke jalan yang diridhai oleh Allah. Karena, hati yang selalu sibuk atau yang senantiasa tertuju kepada Allah merupakan suatu langkah menuju kebaikan daripada berbagai bentuk kebaikan yang ada.

Jika seorang isteri buruk di dalam beragama, niscaya akan memporakporandakan harta benda sang suami dan berpotensi untuk menyebabkan kemuliaannya menjadi jatuh serta kehidupannya pun tidak akan harmonis. Apabila seorang suami mengetahui kebejatan sang isteri, kemudian ia tidak berusaha untuk memperbaikinya, maka hal seperti itu sama saja dengan sang suami merestuinya. Sebab, ini sangat bertentangan dengan firman Allah yang artinya: "Jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka." Oleh sebab itulah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang masalah agama ini kepada kita. Sebagaimana sabda beliau yang artinya: "Hendaklah kalian melihat agamanya, niscaya kalian akan bahagia."

Sesungguhnya agama merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam pandangan syari'at Islam. Sebab, isteri/suami yang baik agamanya dapat membantu di dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak-anak. Jika tidak, maka keduanya akan semakin jauh dari nilai-nilai agama, bahkan bisa mencelakakan kehidupan rumah tangga mereka.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

"Perempuan itu dinikahi karena empat perkara. Yaitu, karena hartanya, keturunannya, kecantikan, dan agamanya, namun nikahilah karena agamanya (jika tidak), niscaya kamu sengsara." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An Nasa'i)

Sesungguhnya agama merupakan hal yang sangat penting di dalam membina kehidupan berumah tangga. Sebab suami yang senantiasa taat kepada perintah agama dan menjauhi larangan-Nya akan menjadi suami yang baik bagi sang isteri dan dapat dipercaya. Begitu juga dengan seorang isteri yang shalihah, dimana ia akan selalu menjaga kehormatannya, sangat perhatian dengan rumah tangganya, pendidikan anak-anak serta menjaga hak-hak suaminya. Karena agama merupakan penengah di antara dua kekuatan, yaitu amarah dan syahwat. Dengan agama, segala kejahatan serta kerusakan moral akan cepat terobati. Agama adalah sesuatu, sementara berlebih-lebihan di dalam agama merupakan sesuatu yang lain. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Sebaik-baik umat adalah kelompok yang tengahtengah (yang sedang), sebagai rujukan dari kelompok yang berlebih-lebihan serta sebagai panutan bagi generasi berikutnya."

Seperti diketahui dalam suatu keluarga, jika sang suami lupa akan hak dari isteri maupun keluarga, yaitu dengan menghabiskan waktunya untuk beribadah, siang berpuasa dan malam melaksanakan shalat malam, maka hal itu bisa mengakibatkan keluhan bagi sang isteri. Begitu juga sebaliknya, sang suami akan mengeluhkan isterinya yang selalu menghabiskan waktunya dengan beribadah, sehingga mengabaikan kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya. Dua contoh tersebut akan menjadi bencana bagi keduanya. Sedangkan cara yang dapat dianggap efektif adalah mengambil jalan tengah, yaitu beribadah (dalam hal ini shalat dan puasa, Ed.) secukupnya saja.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Ibnu Amr bin ' Ash melakukan puasa selama satu tahun. Pada saat Nabi mengetahui akan hal itu, maka beliau pun memanggilnya seraya bersabda: "Jika kamu memang harus berpuasa, maka berpuasalah seperti apa yang dilakukan oleh saudaraku, yaitu Nabi Dawud'Alaihissalam, berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Itu merupakan kebaikan bagimu jika kamu mengetahui. Yaitu, bahwasanya badan kamu itu mempunyai hak atas diri dan keluargamu, yang juga mempunyai hak atas dirimu" (dikutip dari kitab "Al Uzmatu Az Zaujiyah wa 'Alaajiha ", karangan Dr. Muhammad Zaki Syafi'i, hal. 27-37)

Kecantikan bukannya tidak dibutuhkan, akan tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama di dalam mencari pasangan hidup, sebagaimana penjelasan pada hadits Nabi yang artinya: "Lihatlah kepadanya. Karena sesungguhnya dengan melihatnya itu akan bisa melanggengkan ikatan di antara kalian berdua." Hadits ini adalah merupakan penolakan terhadap perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, Rasulullah.

Dengan kata lain, berbahagialah dengan wanita (isteri) yang mempunyai agama baik dan janganlah memandang hanya pada harta bendanya saja, niscaya Allah Subhanahu wa Ta 'ala akan memberkahi dan memper-banyak harta kalian berdua. Melalui keterangan inilah kita dapat mema-hami betapa pentingnya memilih pasangan bagi calon suami-isteri dan hendaknya berhati-hati. Sebab, terburu-buru dalam mencari pasangan yang berdasarkan kepada keindahan semata akan berakibat buruk. Sedangkan cara memilih yang benar adalah, baik itu dengan melihat, direnungkan serta diteliti dari segi pendidikan dan akhlaknya.

Di dalam kitab yang berjudul "As Sa 'aadah Az Zaujiyah fil Islam " dikatakan, bahwa pada suatu hari mushannif mendengarkan siaran radio yang sedang membicarakan tentang seorang laki-laki yang ditanya: "Apakah kamu senang mempunyai isteri yang sangat cantik?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak." Kemudian ia ditanya kembali: "Apakah ada orang yang tidak menyukai suatu kecantikan yang memikat?" Laki-laki itu menjawab: "Sesungguhnya kecantikan yang memikat menyebabkan ketenangan yang menyejukkan hati dan sekaligus kesedihan yang tiada habisnya." Jawaban itu membuat diri mushannif menjadi kagum. Oleh karena itu, kepribadian wanita yang pertama aku cari adalah agamanya, tabi'atnya, kebaikannya, keturunannya, pendidikannya serta kepandaiannya. Semua ini bukan berarti tidak memandang suatu kecantikan (hal, 115-116).

Sebagian ulama memberikan berbagai nasihat tentang cara memilih pasangan hidup yang baik, sebagai berikut:
  1. Tanyakan, bagaimana pendidikan di dalam rumah tangganya, bukan menanyakan di mana ia sekolah.
  2. Menikah dengan puteri seorang yang shalih.
  3. Perkawinan merupakan kehidupan bersama, maka hendaknya memilih pasangan yang serasi denganmu, baik dari segi makanan, tabi'at maupun budi pekerti.
Ada seseorang yang bertanya: "Jika masalah agama yang lebih ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka bagaimana dengan masalah diperbolehkannya seseorang oleh Allah Subhanahu wa Ta 'ala menikahi perempuan Ahli Kitab?" Jawabnya adalah: "Sesungguhnya pembolehan menikah dengan wanita Ahli Kitab itu merupakan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap Ahli Kitab serta memberikan kesempatan kepada mereka agar mau kembali kepada agama fitrah yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, Nabi Musa 'Alaihissalam, Nabi Isa 'Alaihis-salam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sehingga para Ahli Kitab dapat menemukan kembali kebenaran yang hakiki dengan masuk ke agama Islam tatkala bergabung dengan kehidupan yang Islami."

Sebab itulah konteks Islam merupakan pengaruh yang cukup besar dan rulai-nilai yang sangat luhur untuk memasukkan isteri-isteri ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, sekalipun tidak secara keseluruhan.

Sebagian dari sahabat Nabi mengatakan: "Bahwasanya dibolehkan menikahi perempuan Ahli Kitab, karena pada waktu itu wanita muslimah masih sangat sedikit jumlahnya. Adapun diharamkannya menikahi mereka (wanita Ahli Kitab) pada waktu-waktu sesudahnya adalah lebih disebabkan oleh adanya kekhawatiran atas kembalinya para lelaki muslim kepada ke-yakinan semula dan disamping itu wanita muslimat telah banyak jumlah-nya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai pernikahan umat Islam dengan Kitabiyah Harabiyah. Ibnu 'Abbas berpendapat: "Tidak boleh menikah dengan para wanita Kitabiyah Harabiyah." Sedangkan jumhur ulama berpendapat: "Boleh menikah dengan mereka, hanya saja makruh hukumnya." Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta 'ala:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al Mujaadilah 22)

Adapun pendapat yang lebih kuat untuk dijadikan sebagai pegangan adalah pendapat Ibnu 'Abbas. Karena dikhawatirkan adanya bahaya yang lebih besar di dalam realita kehidupan saat ini.

Musthafa Shadiq Ar Rafi'i berkata di dalam kitabnya: "Wahai saudarasaudaraku, janganlah kalian mengawini orang asing. Jika seorang muslim --menikahi wanita asing--, maka akan terdapat enam kejahatan (jarimah) yang terdiri dari:

Pertama, menghilangkan hak-hak wanita muslimah untuk menikah dan membuat mereka menjadi tidak laku. Inilah yang disebut dengan jarimah wathaniyah.

Kedua, mencampur-adukkan perilaku-perilaku dan kelebihan-kelebihan kita, kemudian melebur dengan akhlaq orang asing dikarenakan lemahnya budi pekerti. Inilah yang disebut dengan jarimah akhlaq.
Ketiga, menyusupkan tipu daya kepada jiwa dan keturunan kita. Inilah yang disebut dengan jarimah sosial.

Keempat, orang asing (di luar Islam) itu akan seenaknya berbuat apa saja yang ia inginkan dalam lingkungan kita. Inilah yang disebut dengan jarimah politik.

Kelima, membuat pengaruh yang berlandaskan pada hawa nafsu ketika hendak menetapkan suatu hukum. Serta berusaha mencuci otak dari para keturunan kita, sehingga ia akan melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hatinya. Inilah yang disebut dengan jarimah agama.

Keenam, kemiskinan akhlaq sangat mempengaruhi, sehingga tidak lagi mempedulikan jarimah-jarimah yang telah disebutkan. Inilah yang disebut dengan jarimah kemanusiaan.

Yang dimaksud orang asing dalam konteks hadits di atas ialah wanita-wanita Ahli Kitab. Sebab, kebanyakan dari orang asing itu adalah orang-orang musyrik. Karenanya, sangat tidak memungkinkan bahwa lelaki muslim bisa berkumpul (menikah) dengan mereka (Ahli Kitab). Allah Subhanahu wa Ta 'ala telah mengharamkan pria muslim untuk menikahi wanita-wanita Majusi dan wanita-wanita penyembah patung, sebagaimana firman-Nya:

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman adalah lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia sangat menarik hatimu. " (Al Baqarah 221)

Semua itu merupakan ketidakmungkinan bersatunya suami-isteri dalam dua aqidah yang berbeda. Sebab, bahayanya akan berakibat pada aqidah anak-anak dan kerusakan moral mereka. Apabila bahaya tersebut telah tergambar dengan jelas, maka hukum dikembalikan pada asalnya, yaitu haram.

Penulis berpendapat, bahwa dilarangnya perkawinan seorang mukmin dengan Ahli Kitab adalah karena terikat dengan tanggung jawab pendidikan anak-anak maupun agama. Juga sebagai tindak antisipasi agar tidak terjatuh dalam kemusyrikan. Karenanya, agar penyakit tersebut tidak menular kepada anak-anak, yang disebabkan oleh lemahnya kepribadian suami terhadap isterinya, hingga dapat mengakibatkan terbengkalainya pendidikan mereka dari segi kemaslahatannya.

Seperti diungkapkan di dalam sebuah kaidah fiqih: "Sesuatu (perkara) yang menjadi media akan sempurnanya sebuah kewajiban, maka ditetapkan hukumnya --perkara tersebut-- sebagai hal yang wajib." Atau dengan kata lain, mencegah kerusakan lebih utama daripada memperbaiki. Pada zaman sekarang, syarat tersebut sangat sulit, karena dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam bahaya.

SEGERA MENIKAH UNTUK MENGHILANGKAN IBADAH YANG MENYIMPANG

Author
Tiga orang pembesar berkunjung ke rumah isteri-isteri Nabi dengan maksud menanyakan perihal ibadah yang dilakukan oleh beliau. Tatkala diterangkan perihal ibadah beliau, mereka seakan-akan mengagungkannya seraya berkata: "Bagaimana dengan kita jika dibandingkan Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang!" Salah seorang di antara mereka pun berkata: "Jika demikian halnya, maka aku akan senantiasa mengerjakan shalat malam." Berkata pula yang lain: "Aku akan berpuasa selama satu tahun, tanpa berbuka." Kemudian yang lain juga berkata: "Aku akan menjauhi wanita dan selamanya tidak akan menikah."

Mendengar ungkapan mereka itu, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun mendatangi mereka seraya bersabda:

"Kaliankah yang telah mengatakan ini dan itu! Demi Allah, sungguh aku adalah hamba yang sangat takut dan sangat bertaqwa kepada Allah jika dibandingkan dengan kalian. Akan tetapi, manakala berpuasa, aku berbuka. Setelah selesai dari melaksanakan shalat, aku pun pergi tidur. Di samping itu, aku pun mempunyai isteri (menikah). Maka barangsiapa yang membenci (tidak mengikuti) sunnahku, sesungguhnya ia bukan termasuk golonganku." (HR. Bukhari)

Dari sesuatu yang dikhawatirkan itu, kesemuanya merupakan nasihat dari Al Qur'an dan Al Hadits tentang imbauan untuk segera berumah tangga. Seperti kita ketahui, bahwa ada di kalangan ahli sufi yang tidak mempedulikan --bahkan mereka mengajak manusia untuk meninggalkan-- perkawinan. Imbauan ini merupakan kebodohan atau anjuran yang membinasakan kaum muslimin dan mencampakkan mereka pada perbuatan keji. Imam Ibnul Jauzy membantah pendapat mereka dan menjelaskan tentang kesesatan mereka di dalam kitabnya yang berjudul "Talbis Iblis ".

Ketahuilah, pemuda-pemuda dari kaum sufi yang tidak melakukan pernikahan, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, menderita sakit akibat tertahannya sperma. Sebab, apabila sperma seseorang terlalu banyak, maka akan mengalir ke otak. Abubakar bin Zakaria Ar Razi barkata: "Aku pernah melihat sekelompok kaum yang mana mereka mempunyai jumlah sperma yang banyak sekali. Pada saat mereka menahan diri dengan tidak (sama sekali) berhubungan intim, maka tubuh mereka menjadi dingin, gerakan tubuh mereka menjadi sulit dan mereka mengalami kesedihan tanpa sebab." Abubakar pun berkata kembali: "Aku pernah melihat seorang lelaki yang menjauhi hubungan seks dan berakibat nafsu makan menjadi hilang. Sekalipun ia mencoba sedikit untuk makan, akan tetapi tidak dapat menyembuhkan dan menguatkannya. Setelah ia kembali melakukan hubungan seks, maka gejala tersebut pun menjadi hilang seketika."

Kedua, mengerjakan hal-hal yang dilarang. Sebab, pada saat mereka bertahan untuk tidak melakukan hubungan intim, sel sperma yang terdapat pada tubuh mereka menjadi terkumpul. Akibatnya, timbul perasaan gelisah yang menyelimuti jiwanya. Karena kegelisahan itulah mereka berlari (melampiaskan) kepada sesuatu yang mereka tinggalkan sehingga mereka melupakan dan tenggelam ke dalam hawa nafsu duniawi secara berlebihan.

Ketiga, senang kepada anak di bawah umur dan melakukan praktik hubungan seks menyimpang.
Kebodohan telah mengarahkan suatu kaum ke jalan yang tidak pantas --seperti memotong alat kelamin-- dengan keyakinan, bahwa perbuatan itu merupakan ungkapan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal itu semua adalah kebodohan yang tak ternilai. Sebab sesungguhnya dengan "alat" tersebut Allah memuliakan kaum laki-Iaki terhadap perempuan, sebagai "sebab" adanya keturunan. Kaum tersebut berpendapat: "Kebenaran bukanlah seperti itu." Kemudian mereka memotong alat kelamin mereka sendiri untuk menghilangkan keinginan melaksanakan pernikahan. Adapun maksud tersebut tidak akan pernah berhasil!

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menyatukan antara Salman dengan Abu Darda. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda, yang pada saat itu 'Ummu Darda berpakaian kusut. Maka Salman bertanya: "Ada apa gerangan wahai Ummu Darda? Ummu Darda menjawab: Saudaramu Abu Darda, jikalau malam ia shalat, siang ia berpuasa. Sepertinya ia tidak membutuhkan sesuatu dari dunia ini! Abu Darda pun datang menyambut Salman lalu menyuguhkan kepadanya makanan. Maka Salman pun berkata kepada Abu Darda: Makanlah! Abu Darda menjawab: Aku sedang berpuasa. Salman berkata: Aku berikan kepadamu agar kamu ber-buka dan aku tidak akan makan sehingga kamu ikut serta makan bersama-ku. Maka Abu Darda pun makan bersama Salman. Kemudian Salman me-nginap di rumahnya. Pada saat malam tiba, Abu Darda bermaksud untuk melakukan shalat malam. Salman mencegahnya seraya berkata: Wahai Abu Darda, sesungguhnya badan kamu mempunyai hak terhadap dirimu. Begitu pula dengan keluargamu yang mempunyai hak atas dirimu. Silahkan engkau melaksanakan puasa, akan tetapi berbukalah. Silahkan mengerjakan shalat, akan tetapi datangilah pula keluargamu (isterimu)! Berikan semua yang mempunyai hak akan hak-haknya! Ketika waktu Subuh hampir tiba, Salman berkata: Jika engkau mau, maka bangunlah sekarang! Abu Darda pun beranjak bangun dan kemudian mereka berdua mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat. Tak lama kemudian, Abu Darda mengadu ke-pada Rasulullah atas semua yang dilakukan oleh Salman kepadanya. Rasul pun berkata kepada Abu Darda: Wahai Abu Darda, sesungguhnya badan kamu mempunyai hak atas dirimu --sama seperti perkataan Salman--. Dalam riwayat lain disebutkan: Salman benar" (HR. Bukhari dan Tirmidzi).

Sesungguhnya Islam merupakan agama yang dinamis (kehidupan). Ia tidak berhenti pada keinginan dan tabi'at saja, akan tetapi selalu memberikan motivasi dan membuka ruang untuk berkembang. Hal itu tidaklah mengherankan. Sebab sesungguhnya kesemuanya itu merupakan irama dari keberadaan manusia dan akan menjadi suatu kebodohan kalau memeranginya. Yang benar adalah membimbing dan mengarahkan tabi'at, itulah suatu keberuntungan. Islam memberikan jalan agar umatnya selalu merasa senang dan eksis dalam membina kehidupan yang bahagia. Manakala Islam mengharamkan perbuatan zina dan minuman keras, maksudnya tidak lain adalah, agar umatnya selalu sehat dan kuat. Sehingga waktu yang sangat bernilai bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih berguna. Bukan seperti anggapan sebagian orang yang tidak tahu, yaitu dengan menyatakan bahwa hal itu dimaksudkan untuk membatasi kesenangan manusia.


Telah sama-sama kita ketahui, bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak sependapat dengan tiga sahabat tadi ketika mereka mengekspresikan diri dalam beribadah dengan cara memerangi tabi'at kemanusiaan mereka dan mengubah apa yang bukan selayaknya; dengan persepsi pendekatan diri kepada Allah. Dengan demikian, beliau memberitahukan kepada mereka, bahwa apa yang telah mereka lakukan itu justru bisa menjauhkan mereka dari Islam dan dari fitrah kemanusiaan. Dimana mereka menyibukkan diri dengan memerangi keinginan jiwa. Oleh karena itu, membujang tidak akan selamanya terhindar dari dosa dan hanya sebagian kecil yang dapat selamat darinya (dosa).

Ibnu 'Abbas berkata: "Menikahlah kalian! Karena, satu hari bersama isteri lebih baik daripada ibadah seperti ini (maksudnya adalah shalat) se-lama satu tahun." Ibnu Mas'ud berkata --dalam keadaan tertusuk pedang ketika perang sedang berkecamuk--: "Nikahkan aku, sebab aku tidak senang jika bertemu Allah dalam keadaan membujang!" Diriwayatkan pula, bahwasanya Imam Ahmad bin Hanbal menikah pada hari kedua dari hari wafatnya (mantan) isteri beliau. Imam Ahmad berkata: "Aku tidak senang membujang."

WANITA ADALAH PERHIASAN DUNIA TERINDAH

Author
Wanita diciptakan bukan hanya sekedar terdiri dari jasad dan ruh saja. Akan tetapi, ia juga sangat memiliki peran didalam menjalankan proses kehidupan. Seperti menyusui dengan penuh kasih sayang --apabila telah menjadi ibu--, mengalirkan kerinduan, mengubah masa kanak-kanak dan alam tak sadar menjadi sebuah kepastian serta kecerdasan di dalam meng-hidupkan makna-makna kemanusiaan dari segala seginya. Untuk itu, siapa dari para wanita (ibu) yang mendidik anak-anak mereka dengan sesuatu yang tidak pada tempatnya, maka akan menjadikan anak-anak tersebut dari seorang bayi yang bersahaja menjadi seorang yang kejam, dari seorang bayi yang lucu menjadi seorang yang liar dan dari seorang bayi yang murah senyum menjadi seorang yang memiliki watak egois.

Artinya, siapa saja dari para ibu yang menjadikannya dalam kejahatan, maka ia akan memaksa untuk membuka rahasia kehidupan ini dengan cara yang tidak dibenarkan (batil). Sedang siapa yang menabur bunga untuk kecantikannya dan untuk ketenangan serta kesabarannya, maka nantinya akan memetik hasil yang juga sangat menggembirakan. Begitu pula apabila menuangkan keharuan kepada curahan yang memalingkan guna menghilangkan padanya akan puncak dari kasih sayang, maka sudah tentu menghasilkan produk yang tidak akan mampu untuk menghadapi kerasnya kehidupan di masanya nanti.

Wanita bukan saja berbentuk badan, akan tetapi sebelum itu juga melekatkan rasa cinta yang suci, kecantikan, kelembutan, jiwa terdidik dan tempat menggantungkan keturunan. Seandainya ada laki-laki jenius mampu menghidupkan aspek kemanusiaan yang suci di dalam misi menggantikan kedudukan wanita, maka sungguh ia mampu menggantikannya. Namun, hal itu laksana menggantikan kehausan dari air yang bersih dengan tetesan buah dari perasannya. Jika seseorang (laki-laki) merasa cukup dengan apa yang ada dari sisi jasmani seorang wanita, niscaya akan menjadi sempit dan pendek pandangan (penilaian)nya terhadap wanita tersebut.

Ketika seorang lelaki terpesona kepada wujud jasad yang disimpulkan melalui bentuk-bentuk kasih sayang dan kecondongan terhadap canda tawanya, maka ia tidak akan mampu meningkatkan persepsinya ketingkatan yang lebih benar. Maha Suci Allah yang telah menciptakan kecantikan.
Allah Subhanahu wa Tala'a berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. " (Ar Ruum 21)

Ayat ini mengisyaratkan makna yang tinggi dan menjelaskan bahwasanya hubungan antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) bukan sekedar hubungan materi semata. Akan tetapi, merupakan hubungan yang memperteguh rasa cinta serta kasih sayang. Selain ayat diatas, masih banyak lagi ayat-ayat lain yang berkenaan dengan mengangkat derajat serta posisi kaum wanita dan usaha untuk memuliakannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Di antara kesenangan dunia yang membuatku senang ialah; wanita dan wewangian. Dan dijadikan kecintaanku ada di dalam shalat." (HR. Nasa'i, Ahmad dan Hakim dengan sanad sahih)

Sekalipun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat mencintai isteri-isterinya sampai kepada Siti 'Aisyah, akan tetapi tidak mengurangi kecintaan beliau kepada Sang Khaliq. Bahkan beliau pernah bersabda yang artinya: "Seandainya aku ditakdirkan hanya memiliki seorang sahabat di bumi ini, niscaya aku akan memilih Abubakar Radhiyallahu 'Anhu sebagai sahabatku."

Allah Subhanahu wa Ta 'ala memberikan kelebihan kasih sayang kepadaku (Nabi Muhammad) terhadap wanita dan wewangian yang lebih besar dibandingkan lainnya. Sebab, wanita merupakan penghias dan pe-nyejuk di dalam rumah tangga serta sumber keturunan. Alangkah istimewa-nya wanita! Sedangkan wewangian dapat memberikan gairah (semangat) bagi jiwa. Adapun dalam shalat terdapat kenikmatan dan kesenangan di dalam rangka bermunajat antara hamba dengan Sang Khaliq. Ini adalah salah satu keadaan yang sangat menyenangkan bagi manusia ("At Taaj Aj Jaami' Al Ushul").

Imam Ibnul Jauzy menjelaskan di dalam kitabnya yang berjudul "Nawaadir Al-Adzkiyaa" tentang seorang penyair yang terpesona apabila melihat kecantikan seorang wanita. Dalam riwayat yang lain dinyatakan tentang penyair yang membenci isterinya, sebagaimana disebutkan: "Sesungguhnya wanita itu laksana syaitan yang diciptakan untuk kami. Kami memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan syaitan yang terkutuk." Akan tetapi dengan ramah sang isteri menjawab: "Sesungguhnya wanita itu laksana wewangian untukmu (kaum lelaki), bukankah kamu semua sangat menyukai wewangian?"

Pengarang kitab "Waajibul-Adab" menceritakan: "Pada suatu hari Khalid bin Yazid bin Mu'awiyah mencela dan menuduh Abdullah bin Zubair sebagai orang kikir." Sedangkan isteri Khalid adalah adik perempuan Abdullah. Ia pun tertunduk tanpa berkata apa-apa. Khalid bertanya pada isterinya: "Mengapa kamu tidak membantah? Apakah kamu senang dengan apa yang telah aku katakan atau kamu membantah jawabanku?" Sang isteri pun menjawab: "Aku tidak akan berpihak kepada siapa pun! Sementara wanita tidak diciptakan untuk mencampuri urusan laki-laki. Kami hanya laksana wewangian yang tersedia untuk dicium dan dikumpuli." Maka Khalid pun merasa kagum atas jawaban dari isterinya, kemudian ia mencium kening sang isteri.

MENGANGKAT DERAJAT TABIAT (INSTING) BIOLOGIS

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman didalam Al Qur'an:

"Dan orang-orang yang belum mampu untuk melaksanakan per-nikahan, maka hendaklah mereka menjaga kesucian diri sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. " (An Nuur 33)

Yang penulis maksudkan dengan mengangkat derajat insting biologis seperti diistilahkan oleh para ahli jiwa adalah, bahwa memuliakan insting tersebut merupakan keharusan dan mengangkatnya ke forum ilmiah, sastra serta seni, dimana ada kecenderungan terhadap keengganan untuk menikah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada seorang yang masih lajang untuk berpuasa. Hal ini merupakan salah satu cara pandang Islam di dalam memuliakan insting tersebut. Akan tetapi, cara ini tidak berlaku untuk selamanya, seperti yang banyak dilakukan para pemuda non-Muslim.

Tindakan ini sangat berarti bagi dunia pendidikan, penelitian dan reproduksi. Jika demikian, lalu dimana letak perbedaan cara pandang Islam dengan Farwed --seorang tokoh dari agama Yahudi-- dalam masalah ini. Menurut Farwed, kita harus segera melampiaskan insting biologis kita, dengan dalih; bahwa tanpa melampiaskan insting tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan pada jiwanya.
Dr. Cases Carl menuliskan didalam kitabnya yang berjudul "Al Insaan DzaalikalMajhuula ": "Bahwa biasanya kecerobohan di dalam seks itu akan menurunkan daya kerja otak dan akal sehat hanya membutuhkan hubungan seksual yang sehat, sehingga mampu mencapai orgasme" (hal, 174).

Kesimpulan dari pandangan Farwed, yaitu; bahwa ajaran Yahudi membolehkan umatnya melakukan hubungan seks secara bebas dengan maksud memperbanyak keturunan mereka, dimana hal ini berhubungan dengan tuntutan dunia Internasional mengenai berdirinya negara Israel. Adapun pandangan dari para pemuka Zionis adalah, bahwa kita (bangsa Israel) harus menghancurkan setiap peradaban yang tumbuh dan berkembang di muka bumi ini hingga memudahkannya untuk menguasai mereka. Adapun menurut generasi muda bangsa Israel, bahwa pandangan Farwed dimaksud bermakna memperbolehkan untuk melakukan hubungan seks dibawah matahari, sehingga tidak ada lagi hal-hal yang dianggap sakral dan pada saat itulah terjadi krisis moral yang sangat besar.

Teori Farwed ini pada akhirnya ditolak oleh beberapa negara, setelah timbul pengaruh yang buruk terhadap generasi muda mereka pada saat hal tersebut masih dipelajari di berbagai lembaga pendidikan. Sekalipun ada keharusan untuk memuliakan insting seks, akan tetapi tetap tidak dapat dibenarkan jika caranya dengan menonton atau membaca hal-hal yang berbau mesum.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya hal itu dapat mencegah pandangan mata kalian dan menjaga kehormat-an kalian. Sedang bagi siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, dan puasa itu adalah perisai baginya." (HR. Bukhari, Muslim)

Atau dengan kata lain, barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk memberi nafkah, baik itu berupa makanan, pakaian dan melakukan hubungan seksual. Nash-nash dari Al Qur'an dan sunnah mengisyaratkan, bahwa menikah itu diwajibkan bagi yang telah mampu. Sedangkan yang tidak penulis pahami adalah, mengapa ada sebagian dari para ulama yang menyimpulkan bahwa menikah itu hanya dihukumkan sebagai sebuah perkara yang bersifat mubah saja?

Hal tersebut terjadi pada awal dari perkembangan Islam. Akan tetapi, pada saat pemerintahan Islam telah kaya raya, maka setiap muslim berhak (wajib) untuk melangsungkan pernikahan, meski hal itu dilakukan dengan cara berhutang terlebih dahulu untuk membayar mahar dan kebutuhan lainnya. Karena, pemerintah dalam hal ini diharuskan untuk menanggung pembayaran hutang dari orang tersebut yang diambilkan dari bagian zakat atas orang yang berhutang.

Penulis kemukakan kepada para pembaca, bahwa di dalam kitab biografi yang menceritakan tentang Umar bin Abdul Aziz yang dikarang oleh Ibnu Al Hakam dijelaskan: "Bahwa putera beliau meminta beliau untuk menikahkannya dan membayarkan mahar dari pernikahan tersebut yang diambil dari Baitul Maal. Pada saat itu, putera beliau telah memiliki seorang wanita sebagai calonnya. Maka beliau pun marah dan menulis surat untuk puteranya yang menyatakan: Bahwa suratmu telah aku terima, yang isinya meminta kepadaku untuk mengambil harta dari Baitul Maal guna memenuhi kebutuhan pernikahanmu, sementara putera-putera kaum Muhajirin pun juga belum menikah dan aku tidak tahu mengapa hal ini engkau tuliskan didalam suratmu kepadaku? Kemudian sang putera pun membalas surat bapaknya yang berbunyi: Jika demikian halnya, maka ananda melihat, bahwa kita masih memiliki beberapa harta (yang diperoleh sebelum bapaknya berkuasa), maka juallah dan tentukan harga yang pantas sebagai maharku" (hal. 125 Cet. 'Ubaid).

Khalifah sendiri tidak merasa heran akan tuntutan puteranya itu. Akan tetapi, beliau lebih mengutamakan pernikahan bagi para pemuda dari kaum Muhajirin. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada karyawannya yang berisi: "Laksanakanlah hak orang-orang yang berhutang." Maka mereka membalas surat yang beliau tulis: "Kami menemukan seorang pria yang telah memiliki tempat tinggal, pembantu, kuda dan beberapa perabot rumah tangga di dalam rumahnya." Beliau membalasnya: "Seorang pemuda muslim memang harus memiliki tempat tinggal untuk berteduh, pembantu untuk melayaninya, kuda untuk berjuang menghadapi musuh dan perabot rumah untuk dirinya sendiri, isteri dan anak-anaknya. Namun, ia adalah seorang yang berhutang. Maka dari itu, bayarkanlah segala hutangnya yang bersangkutan dengan kebutuhan rumah tannga" (hal. 164, bersumber dari kitab yang sama).

Hal tersebut hendaknya dibicarakan sebelumnya, yakni bahwa pemerintah mempunyai tanggungan kepada segenap rakyatnya berupa jaminan terhadap isteri, tempat tinggal dan pengadaan pembantu rumah tangga.

Sesuai dengan pembahasan kita, bahwa kita harus menjaga diri dari hal-hal yang melanggar syari'at dan memuliakan insting seks sejauh perkawinan yang memang mudah itu sesuai dengan syari'at Islam. Dari kesimpulan pembahasan diatas penulis melihat, bahwa teori yang dikemukakan oleh Farwed itu merupakan ajaran Yahudi yang salah, yang pada intinya menyatakan: "Harus berani melakukan perbuatan nista dengan dalih menahan diri dari perbuatan nista yang lebih besar, karena hal itu akan dapat membahayakan kesehatan."

Seorang ilmuwan bernama Henri Miller berkata: "Sesungguhnya cara terbaik untuk menjaga diri kita dari penyakit ialah dengan mencegah melakukan hubungan seksual di luar (sebelum) nikah, bagaimanapun caranya. Selama cara tersebut memberikan manfaat kepada kita."

Sesungguhnya menggunakan segala kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dapat menghancurkan kepribadian dan juga bisa menghilangkan pilihan, yang kesemuanya itu telah dibangun dengan kemauan keras. Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada faktor-faktor yang dapat menguatkan kepribadian kita. Diantaranya adalah, bahwa kita harus mengetahui terlebih dahulu tabi'at (insting) seks tersebut. Karena sesungguhnya mencegah diri untuk mengikuti insting tersebut pada mulanya memang sangat sulit. Akan tetapi, jika kita mempersiapkan diri secara serius, maka akan menjadi mudah.

Seseorang yang mulai terikat dengan insting seks tersebut tidak akan menilai segala sesuatu terkecuali menurut penilaian insting yang sama. Oleh karena itu, sangat diragukan kemampuannya menjaga kebersihan dan kejernihan guna memadamkan perasaan yang memang merupakan racun. Bahkan mungkin akan mencari tahu tentang kelebihan wanita serta mengikuti segala tradisi masyarakat yang rusak, yang pada akhirnya akan merasakan kebosanan dan kehampaan.

Barangsiapa mampu untuk menjauhkan diri dari patuh terhadap tuntutan badaniah, maka hidupnya akan dipenuhi oleh perasaan yang halus dan jernih serta kegembiraan yang didatangkan oleh cinta suci yang tumbuh dari dalam hati dan pikirannya menjadi bagus lagi jernih. Maka kehidupannya pun akan dipenuhi dengan berbagai makna yang luhur.

Seseorang yang menikah setelah tahu banyak tentang keadaan seorang wanita secara utuh (kepuasan jasmani), maka ia tidak akan menetap pada suatu keadaan dan tidak mampu memahami apa yang bergelora di dada isterinya. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perceraian.

Seseorang yang mampu menjaga kesuciannya hingga memasuki jenjang pernikahan, maka ia akan menghormati isterinya sebagai teman hidup dan ibu bagi anak-anaknya. Ia melihat cinta sebagai anugerah yang abadi dan sang isteri memandang bahwa kesucian ini merupakan tanda keikhlasan, hingga ia selalu bergantung dan setia kepadanya sampai akhir hayat.

Penulis sebutkan sekali lagi, bahwa pencegahan diri dari hubungan seks pra nikah itu merupakan hal yang penting untuk dilakukan sampai tiba saatnya pernikahan yang dibenarkan. Setelah itu, masih ada hal-hal lain yang mengharuskan seseorang untuk melakukan sesuatu seperti menye-lesaikan beban hidup, kesukaan dalam merenggangkan jarak kelahiran dan sebagainya. Barangsiapa mampu menahan diri sebelum proses pernikahannya tiba dan hal itu dilakukannya secara serius, maka ia akan mampu untuk menjaga kemaslahatan isterinya.

Ada seseorang berkata: "Hal ini baik sekali. Akan tetapi, apakah mungkin untuk dilakukan?" Penulis menjawab: "Ya, bisa. Karena sesungguhnya sifat (tabi'at) manusia itu selalu menjaga dirinya dari kekeliruan sampai ia menikah! Contoh mengenai hal ini sangatlah banyak." Ia kembali bertanya: "Tidakkah pencegahan diri itu akan membahayakan kesehatan?" Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah:

a. Sebagian dari mereka ada yang menduga, bahwa pencegahan diri dari perbuatan tersebut merupakan penyebab dari mengecilnya alat kelamin. Sedangkan yang sebenarnya adalah sebaliknya. Lebih jelas mengenai hal ini dapat ditanyakan kepada para dokter, dimana mereka akan menjawab, bahwa hampir semua dari para suami yang mampu melakukan hubungan seksual dengan benar adalah mereka yang mampu menjaga kejantanan sampai memasuki jenjang pernikahan.

b. Sebagian yang lain mengatakan, bahwa pencegahan diri itu mempengaruhi perkembangan alat kelamin. Akan tetapi, sesungguhnya kecerobohan di dalam melakukan hubungan seksual lebih dapat untuk dijadikan sebagai faktor yang mempengaruhinya. Sebab hal itu akan senantiasa menjadikan alat kelamin terangsang, hingga pada saatnya ia tidak lagi mampu untuk melakukannya kembali dengan baik. Sedangkan menahan diri --secara praktis-- akan membuatnya tenang dan lembut. Ketajaman cinta akan terwujud jika pikiran dan gambarannya senantiasa tenang pula.

c. Yang lain berkata, bahwa sesungguhnya pencegahan diri akan membawa seseorang terbiasa melakukan masturbasi dan onani. Justru sebaliknya, bahwa mereka yang a-moral atau yang sering menonton segala sesuatu yang berbau pornografi yang dapat membawanya untuk melakukan hal itu. Jika telah melakukannya satu kali, maka akan melakukannya pada kesempatan yang lain. Karena, hilangnya kemauan (pencegahan diri) yang mendorongnya ke arah tersebut. Begitu pula di dalam penjara, dimana kebanyakan di antara mereka melakukan hal tersebut. Dalam hal ini penulis pernah mengadakan suatu penelitian, yaitu tentang kemauan yang kuat dan kesucian yang cukup untuk dijadikan sebagai pelindung dari perbuatan semacam itu. Akhimya didapatkan satu kesimpulan, bahwa apabila melakukannya (hubungan seksual) dengan para wanita (lawan jenis) akan mendapatkan lebih banyak kepuasan daripada dengan sesama jenis (homo). Sementara perbuatan onani dan semacamnya hanyalah sebagai pelampiasan yang termudah untuk memenuhi kebutuhan seks. Adapun yang terpenting adalah menerima, bahwa pencegahan diri sangat bermanfaat dan penting.

d. Mereka yang menganggap bahwa pencegahan diri itu dapat membahayakan kesehatan adalah seperti:
  • Hilangnya tujuan utama yang dapat mengalahkan pencegahan diri. Yang sebenarnya penyakit ini lebih dikarenakan ia terbiasa melakukan perbuatan tersebut, bukan akibat dari pencegahan diri.
  • Seringnya terbawa menjadi bunga tidur atau imajinasi yang menemani seseorang di saat tidur (mimpi). Kejadian ini sebenarnya lebih merupakan perantara (cara alami), sehingga alat kelamin kita akan mengeluarkan cairan (sperma) tanpa ada paksaan. Hal itu bukanlah perbuatan yang mendatangkan dosa.
Celakanya, ada sebagian pemuda yang salah di dalam memahami persoalan tersebut, dimana peristiwa mimpi seperti disebutkan di atas dianggap membahayakan. Karena mereka takut akan selalu terbayang dengan pikiranpikiran mesum, sebagaimana yang pernah terjadi didalam tidurnya. Jadi, pemikiran semacam ini timbul karena kesalahan di dalam memahaminya. Adapun yang harus kita perhatikan ialah; bahwa sesungguhnya banyak berpikir tentang hal-hal yang mesum memang kerap terjadi pada saat-saat seseorang menjelang tidur. Kebiasaan tersebut merupakan suatu kehendak yang tidak langsung (datang secara tiba-tiba). Jadi, hal itu bukan akibat dari pencegahan diri, akan tetapi lebih merupakan akibat dari kemerosotan jiwa dan hal itu bisa dipertanggung-jawabkan.

Sedangkan impotensi yang menimpa pada sebagian dari mereka hanyalah akibat dari kecerobohan di dalam bermasturbasi/onani dan hubungan seksual, bukan karena pencegahan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan seks secara umum.

Pembahasan mengenai masalah ini sebenarnya masih sangatlah panjang. Oleh karenanya, kebanyakan dari para pembaca lebih menyukai untuk mengkonfirmasikannya kepada para dokter dan para ahli yang sudah dikenal, dimana sudah tentu mereka pun dapat mengetahui kebohongan yang kita sampaikan. Karenanya hal ini merupakan pengalaman dan pelajaran yang cukup berharga, nyata lagi benar.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berpendapat mengenai hadits yang berbunyi "Yaa Ma 'syarasy Syabbaab" dan lafazh yang berbunyi "Manistatha 'a Minkumul Baa-at Falyatazawwaj ". Beliau menafsirkan kata AlBaa-at dengan hubungan seksual dan juga menafsirkannya dengan makna biaya pernikahan. Kemudian berkata: "Barangsiapa tidak mampu (menikah), maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa merupakan penekan syahwat." Hadits ini menunjukkan akan obat yang manjur bagi syahwat ketika sese-orang belum mampu untuk melaksanakan pernikahan. Karena sesungguh-nya puasa itu dapat menekan nafsu syahwat dan memperkecil tumbuhnya rangsangan. Syahwat akan menguat di kala kita banyak makan atau dengan cara lain.

Keduanya itu yang memberi peluang untuk tumbuhnya syahwat yang kuat, sebagaimana dikatakan: "Barangsiapa yang membiasakan diri berpuasa, maka syahwatnya akan terkontrol." Adapun lurusnya syahwat merupakan kebaikan di antara dua kejahatan dan ditengah-tengah antara dua perbuatan tercela, dimana keduanya muncul dari sifat yang lurus. Kedua sisi yang dimaksud adalah perbuatan yang tercela dan sebaik-baik perkara adalah yang berada dipertengahan (sederhana).

Akhlak yang utama itu terletak di antara dua sisi, yaitu sifat yang melampaui batas. Begitu juga dengan agama yang lurus itu terletak di antara dua kesesatan, sunnah terletak diantara dua bid'ah dan kebenaran terletak di dalam perselisihan. Jika memang engkau hendak memperoleh kebenaran, maka haruslah berkata yang sederhana saja (tidak berlebihan), yang terletak di antara dua sisi yang berjauhan dari kebenaran. Perincian atas berbagai kalimat di atas bukanlah maksud utama yang penulis inginkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.

AJAKAN UNTUK MENIKAH

Author
Allah Subhanahu wa Ta 'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang engkau senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. " (An Nisa' 3)

Allah juga berfirman:

"Mereka itu merupakan pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. " (Al Baqarah 187)

Kedua ayat ini mengisyaratkan akan adanya kewajiban untuk me­laksanakan pernikahan. Akan tetapi, masih ada sekelompok orang yang menghina dan melecehkan suatu pernikahan atau pura-pura menyesalinya. Bahkan ada juga di antara mereka yang sengaja menghabiskan hari-harinya dengan bercengkrama (ngobrol) bersama teman-teman begadangnya. Se­sungguhnya perbuatan tersebut hanyalah akan membawa mereka semakin jauh dari jalan Allah dan mencemarkan kesucian atas perkara yang agung ini, dimana suatu pernikahan itu sudah ditetapkan hukumnya oleh syari'at Allah di dalam kitab suci-Nya (tepatnya mengenai kehidupan suami-isteri).Imam Ath Thabari menafsirkan firman Allah yang berbunyi "Hunna Libaasun Lakum ", yaitu bahwa salah seorang dari mereka itu harus menjadikan pasangannya sebagai pakaian, baik pada saat menjelang tidur, saat berkumpul bersama keluarga atau pada saat bersatu (bersenggama) dengan pasangannya, sebagaimana pakaian yang dikenakannya.
Dikatakan juga, bahwa salah seorang dari keduanya menjadi pakaian bagi pasangannya, sebagaimana firman Allah yang artinya: "Dan Dia (Allah) telah menjadikan malam sebagai pakaian bagimu." Yaitu, sebagai tempat beristirahat atau tempat bernaung. Begitu juga bagi sang isteri, menjadi pakaian bagi sang suami dan ada kecenderungan sang suami kepadanya, sebagaimana firman Allah yang artinya: "Dan Dia jadikan isteri agar ia senang kepadanya." Yaitu, salah seorang dari keduanya menjadi pakaian bagi lainnya atau tempat berlindung.

Adapun penafsiran yang dikemukakan oleh Al Ustadz Muhammad Qutb akan ayat ini adalah: "Gambaran yang diberikan Al Qur'an tentang hubungan antara suami dan isteri begitu halus dan indah."

Sebagaimana firman-Nya: "Hunna Libaasun Lakum, wa Antum Libaasun Lahunna. " Pada kalimat ini digambarkan, bahwa hubungan antara jasad dan jiwa itu sangatlah erat. Baju merupakan kebutuhan yang penting bagi manusia se-bagai pelindung bagi tubuh dari gangguan cuaca, sekaligus sebagai tabir penutup aurat.

Dalam hal ini terdapat sesuatu yang akan mampu melekatkan antara seorang suami dengan isterinya, yang mana keduanya akan saling berjumpa kalau memang sama-sama berasal dari satu jasad dan jiwa. Pada saatnya nanti, keduanya akan bersatu serta menghendaki akan keutuhan jalinan tersebut, bagaikan baju dengan pemakainya. Keduanya bagaikan tabir yang akan menutupi satu dengan lainnya. Menurut pandangan jasadi, maka ke­duanya akan saling menutupi dan menjaga, menjadi pelindung ruh dan jiwa serta saling menjaga kehormatan masing-masing, menjaga harta, jiwa dan keselamatan masing-masing dari gangguan orang lain. Juga menjaga dari perbuatan keji dan hina layaknya sebuah pakaian yang menjaga tuannya dari gangguan cuaca dingin dan panas.

Keduanya laksana pakaian yang serasi, yang dipakai untuk beristirahat, sebagai pendorong semangat dalam bekerja serta berusaha agar selalu tampak baik dan indah di mata pasangannya serta pandangan orang lain. Jika memang hubungan mereka itu keutuhannya terjaga, maka keduanya akan bersatu menjadi pakaian yang berfungsi untuk melindungi antara satu dengan lainnya. Juga akan berusaha untuk bersolek dan menyempurnakan penampilan yang melekat padanya sebagai pelindung, sekaligus tabir pe­nutup (Manusia antara Materi dan Islam, hal. 249).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya ia telah me­nyempurnakan setengah dari agamanya. Oleh karena itu, bertaqwalah kepada Allah untuk menyempurnakan sebagian yang lainnya." (HR. Baihaqi dengan sanad hasan)

Setengah dari (kesempurnaan) agama dimaksud, ditetapkan oleh per­nikahan dan adanya anjuran agar memilih isteri yang baik serta meneliti hal-hal lain yang urgen. Untuk mengambil keputusan dalam suatu perkara, maka dianjurkan bagi umat Islam agar melakukan shalat istikhara sebanyak dua raka'at, kemudian membaca do'a sesudahnya. Seperti apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai berikut:

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu pilihan dengan pengetahuan-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kuasa-Mu dan memohon segala karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa, sedangkan aku tidak. Engkau Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak dan Engkau Maha Tahu akan hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika memang Engkau telah me­ngetahui bahwa perkara ini baik bagiku, agamaku, hidupku dan segala akibat yang ditimbulkannya, maka putuskanlah perkaraku ini atau Engkau tangguhkan. Atau putuskanlah untukku dan mudahkanlah, kemudian berkahilah aku. Sedang apabila menurut-Mu perkara ini berakibat buruk bagi­ku, agamaku, hidupku dan akibatnya, maka jauhkanlah dariku dan putus­kanlah bagiku kebaikan sekiranya hal itu belum direlakan."

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita (isteri) yang shalihah." (HR. Muslim)

Di dalam kitab yang berjudul "Nahnul Ma'muruun" diceritakan, bahwa sesungguhnya pernikahan itu merupakan perkara yang sangat penting (utama) yang dapat memanjangkan usia dan membawa kita kepada kehidupan yang teratur.

Terkadang kehidupan pernikahan itu bercampur dengan sesuatu yang meletihkan, seperti kelelahan yang didatangkan karena telah memiliki anak atau tuntutan kebutuhan lainnya seperti perabotan rumah. Akan tetapi, semuanya itu akan terasa indah jika seseorang merasa ikhlas dan terpuaskan jiwanya. Pada sisi lain, seseorang yang masih bujang akan merasakan kehampaan (kekurangan) di dalam hidupnya.

Memang benar apa yang pernah dikatakan oleh seseorang, bahwa terkadang masa muda bagaikan seorang raja. Akan tetapi, akan menjadi seorang hamba yang patut untuk dikasihani ketika usianya telah beranjak tua dan masih sendiri. Sedangkan bagi orang yang telah menikah --pasangan suami isteri-- terkadang pada masa-masa awal pernikahannya menjadi budak, akan tetapi ketika usia pernikahannya bertambah tua menjadi seorang raja yang bertahtakan segalanya didalam rumah serta tidak akan pernah lagi merasakan kesedihan dan kesepian seperti apa yang dirasakan oleh mereka yang masih sendiri pada masa tuanya (belum menikah).

Dr. Haflbert, seorang Direktur rumah sakit psikiater di New York berkata: "Bahwa jumlah pasien yang akan datang untuk berobat ke rumah sakit ini perbandingannya adalah empat (para lajang) dan satu (pasangan yang telah menikah)." Demikian pula dengan data hasil penelitian statistik yang dilakukan oleh Dr. Barchlun menunjukkan, bahwa peristiwa bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh para lajang daripada yang di lakukan oleh para pasangan yang telah menikah. Karena, para pasangan yang telah menikah lebih banyak mengutamakan pertimbangan akal dan etika di dalam mengambil keputusan.

Kehidupan mereka begitu damai, hingga segala keganjilan dan kegelapan hidup yang pernah ada tidak pernah mengusik pikiran mereka. Sementara hal itu tidak dapat dilakukan bagi orang yang belum menikah. Sungguh, seorang isteri yang terbiasa menghadapi segala keletihan, baik yang datangnya dari persoalan anak-anak, peranan sebagai ibu ataupun beban hidup yang lain justru akan memanjangkan usianya daripada mereka yang memutuskan diri untuk tidak menikah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Ada tiga golonganyang pasti ditolong oleh Allah. Yaitu, budak mukatab (seorang budak yang ingin memerdekakan diri dengan cara bekerjaJceras) yang ingin melunasi hutangnya, orang yang menikah demi menjaga diri dari perbuatan maksiat dan para pejuang di jalan Allah." (HR. Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Kebanyakan orang yang tidak mau menikah, sedang mereka mampu melakukannya, maka akan selalu berpikiran kotor dan berkeinginan untuk berbuat zina, yang merupakan salah satu faktor terputusnya (menjauhnya) hubungan antara manusia dengan Rabb-nya. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau menikah dan tetap bersiteguh dengan ajaran agamanya, maka masih terdapat kemungkinan baginya untuk terjerumus ke lembah yang nista. Ibnu Mas'ud berkata: "Sekalipun usiaku tersisa 10 hari, maka aku lebih suka menikah, agar diriku tidak membujang ketika bertemu Allah (meninggal dunia)."

Orang tua yang shalih akan selalu membicarakan persoalan pernikahan kepada anak-anaknya atau kerabatnya yang lain ketika salah seorang dari anaknya telah mencapai usia dewasa dan ada kemampuan untuk menikah serta mencarikan calon isteri/suami yang berasal dari keluarga baik-baik (shalih). Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian dan kemuliaan keluarga, terutama bagi pasangan suami-isteri yang akan menikah.

Alangkah agung nilai hadits ini yang telah menyamakan derajat antara pernikahan, berjuang di jalan Allah dan memerdekakan budak.

Popular Posts